Gerakan Literasi Merawat Ekologi: Dari Puisi Untuk Alam
Narasi Garda Pena – Sebelum lebih jauh membahas ekologi, saya ingin bercerita tentang sebuah aksi heroik lima orang pemuda yang menamakan diri mereka dengan Pandawara Group. “Panda” yang bermakna lima pemuda, dan “Wara” yang berarti kabar baik—lima pemuda yang membawa kabar baik. “Kabar baik untuk siapa?” Saya berani dengan tegas menjawab kabar baik untuk kita semua manusia, tanpa terkecuali semua makhluk yang ada di muka bumi.
Sejauh kita setia mengamati video di beranda Tiktok tanpa henti, barangkali hanya mereka yang paham betul tentang bagaimana mengikuti dinamika kehidupan beserta permasalahannya, tanpa sedikit pun tenggelam ke lubang yang membuat kita lupa akan pentingnya menjaga relasi baik kepada manusia, hewan, dan tentu saja juga alam. Pandawara Group secara tidak langsung telah memaksa kita untuk bisa peka dan memahami “bumi kita” yang sedang tidak baik-baik saja. Paham yang bukan hanya sekadar paham, tetapi paham yang memang benar-benar mengerti akan langkah yang harus kita lakukan bersama, yakni merawat alam.[1]
Memang harus diakui, dunia hari ini selalu dihadapkan pada isu-isu ekologi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Mulai dari krisis iklim, pengerukan alam secara berlebihan, pembabatan hutan yang tiada henti, pencemaran udara, hingga penimbunan sampah yang amat problematik. Problem tersebut mulai dirasakan dampaknya ketika, misalnya, suhu panas semakin meningkat yang disebabkan salah satunya oleh penggunaan bahan bakar fosil, belum lagi banjir bandang terjadi di mana-mana yang salah satunya diakibatkan oleh adanya penimbunan sampah dengan jumlah fantastis.
Tentu saja, sejumlah persoalan-persoalan di atas tidak cukup ditangani hanya oleh pihak yang berwenang saja. Lebih luhur dari itu, dibutuhkan adanya kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat untuk merawat bumi tempat manusia dan seluruh makhluk hidup di dalamnya. Karena bagaimana pun, persoalan-persoalan ini adalah persoalan kita bersama. Itu artinya, memasrahkan persoalan ini hanya kepada pihak yang berwenang saja (pemerintah pusat) tanpa adanya kesadaran dan upaya untuk diatasi secara bersama, sama halnya kita menghendaki permasalahan ini tak berkesudahan. Ironis bukan?
Amanat Menjaga Bumi
Perbincangan seputar kerusakan lingkungan telah menjadi topik di mana-mana. Para akademisi-cendekiawan dan para aktivis lingkungan tak ketinggalan untuk membicarakannya dan telah banyak melakukan penanganan, seperti mengadakan acara seminar/diskusi terkait ekologi, penanaman benih pohon, dan sebagainya. Respon ini patut untuk diapresiasi, karena pada dasarnya merawat bumi bukan kerja atas dasar kepentingan individual, melainkan kerja atas dasar kepentingan semua makhluk di muka bumi.
Selain itu, Islam sebagai agama rahmat lil ‘alamīn juga telah banyak menyinggung perihal pentingnya merawat alam sebagaimana yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat ketika bagaimana manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ mengemban tugas lebih untuk merawat dan menjaga bumi dengan baik. Tugas ini bisa ditelaah ketika Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menyinggung tentang proses penciptaan manusia dengan bumi (tanah) melalui firman-Nya dalam Surah Hūd ayat ke-61:
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ[2]
Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).
Selain Surah Hūd ayat 61 di atas, di dalam al-Qur’an juga banyak ditemukan ayat yang menjelaskan terkait pentingnya merawat bumi (lingkungan). Salah satunya seperti yang tercantum dalam Surah Al-A’rāf ayat ke-56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ[3]
Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.
Melalui contoh dua ayat di atas, cukup gamblang untuk kita mengatakan bahwa manusia mempunyai tugas menjaga alam dengan baik, alih-alih merawatnya. Karena sekali lagi, pada dasarnya menjaga dan merawat bumi bukan kerja atas dasar kepentingan individual, melainkan kerja atas dasar kepentingan semua makhluk di muka bumi ini. Itu artinya, menjaga dan merawat bumi sama halnya dengan menjaga diri sendiri, keluarga, hingga anak-anak cucu nanti.
Gerakan Literasi Merawat Ekologi
Lebih lanjut membincang persoalan-persoalan ekologi, tiba-tiba saya teringat dengan proses “kerja keabadian” dari seorang penyair ketika menulis puisi. Pertanyaannya, kenapa harus puisi? Apa kaitannya puisi dengan persoalan-persoalan ekologi di atas? Dua pertanyaan mendasar di atas saya kira akan menemukan jawabannya ketika semua elemen yang berkaitan erat dengan proses kreativitas seorang penyair dalam menulis puisi mampu teruraikan.
Puisi, sebagai salah satu genre sastra yang selalu diidentikkan dengan sebuah keindahan, ternyata mempunyai spirit dan jalan tersendiri dalam memandang alam. Hal ini bisa dilihat ketika bagaimana puisi-puisi yang lahir dari para penyair terkemuka tidak sedikit yang menjadikan keindahan alam sebagai objek dari puisinya. Tidak menutup kemungkinan juga, keindahan puisi-puisi itu berawal dan tercipta karena menjadikan alam sebagai metafora atau majas.
Tidak terhitung jumlahnya penyair-penyair ternama di Indonesia yang menjadikan keindahan alam sebagai ruh dari puisi-puisinya. M. Faizi, penyair atau sastrawan terkenal kelahiran Sumenep-Madura, dikenal banyak orang sebagai penyair yang selalu menampilkan alam sebagai majas dalam puisinya, di samping dia berasal dari wilayah yang sebagian besar alamnya memang tampak segar yang terdiri dari hamparan sawah, lautan, tanah lapang dan bebatuan. Lebih jelasnya, seperti dalam puisinya yang berjudul “Selamat Pagi, Bumi.”[4]
“Selamat pagi, burung-burung // melalui cericitmu, aku terima salam dari ranting nan rimbun
// sebelum batang-batang pohon ditebang untuk dibikin tisu // demi mengelap air mataku yang menetes // karenamu”.
Penggalan puisi di atas telah memberikan makna yang begitu lekat dan sublim pada setiap pembacanya. Kekentalannya ketika menggambarkan keindahan dan realitas alam bisa menyihir hati para pembacanya terenyuh. Kemudian, Faizi melanjutkan bait puisinya itu dengan mencoba menyinggung dan menghadirkan nuansa kehidupan manusia dengan tingkah lakunya yang merugikan alam.
“Selamat pagi, air mengalir // gemericikmu adalah kabar baik // bahwa batu-batu kapur masih menggunduk di balik gunung // sebelum orang-orang membongkarnya untuk tambang // demi pembangunan, demi kemajuan, // tapi tidak demi engkau”.
“Apa kabar, tanah? // Uar aromamu di kala hujan pertama menyapa // adalah salam untukku: tentang lempeng bumi yang tidak berubah // tentang cacing-cacing yang berjuang menawarkan limbah // serta ketabahanmu menanggung amoniak dan sampah // sehingga kami bebas melepas hak milik untuk berpindah”.
Melalui kutipan di atas, lagi-lagi Faizi menggambarkan keindahan alam dengan begitu khusyuk. Namun sayangnya, melalui puisinya itu Faizi harus berterus terang ketika menyayangkan buminya yang sudah mulai rusak karena ulah tangan manusia. Sehingga pada akhirnya, Faizi mulai kehilangan kesabarannya ketika melihat bumi—dalam bahasa Chairil Anwar—dikoyak-koyak: oleh tangan manusia.
“Selamat pagi, manusia // engkau bekerja demi melangsungkan hidup // dan engkau hidup sekadar iseng menunggu maut // Tapi, // Mengapa engkau merusak laut? // hanya karena engkau punya teknologi untuk menangkap ikan? // namun siapa sesungguhnya yang memberi pakan? // Mengapa engkau meracuni bumi? // hanya karena engkau yang menanam demi alasan pangan? // Namun siapa sesungguhnya yang menumbuhkan?”.
Selain satu contoh puisi dari sastrawan terkenal seperti M. Faizi, kurang afdhol rasanya jika tidak melihat dan menelaah puisi-puisi karya dari mahasiswa-mahasiswi STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Zahrotul Liza, sebagai salah satu pegiat literasi sastra di STAI Al-Anwar ternyata juga mempunyai jalan tersendiri melihat realitas alam. Melalui puisinya yang berjudul “Bumi Yang Gersang Engkau Yang Terngiang.”[5]
“Senajan matahari berjiwa gersang // Anak hama tetap riang bersorai di Tengah ladang // Tentang apa ini tuhan? // Petani gusar dirundung gersang // Kering keronta memohon basah bumi beriring // Anak katak tak terdengar bising // Satu persatu daun mangga gugur mengering”.
Selain puisi dari Zahrotul Liza, juga banyak ditemukan puisi-puisi dari mahasiswi-mahasiswi STAI Al-Anwar yang tidak kalah menarik. Salah satunya puisi berjudul “Santri Pesisir” karya Dhiyaul Munawarah yang juga mempunyai cara tersendiri melihat alam.[6]
“Hembusan angin laut Utara // Senandu membuat dedaunan menari-nari // Nuansa alunan irama lagu yang bernyanyi // Dua bola mata menatap laut biru yang jauh tiada ujung // Dengan bingkai perahu yang beristirahat di pesisir pantai // Dari jendela bening, dimana aku meratapinya”.
Konklusi: Dari Puisi Untuk Alam
Tiga contoh puisi di atas merupakan manifestasi konkret betapa puisi tidak hanya sekadar puisi (baca: karya sastra). Lebih luhur dari itu, disadari atau tidak, puisi mempunyai kedekatan dengan alam sebagai entitas yang inheren dalam ruh puisi. Meskipun demikian, puisi tetap tidak akan pernah mempunyai ruang lebih untuk menyalurkan kritik, alih-alih memaksa alam untuk berubah.
Namun yang pasti, percayalah, bahwa puisi akan selalu menemukan caranya sendiri melihat realitas alam, begitu pun hal-hal yang melingkupinya. Disinilah peran puisi yang sesungguhnya, dengan prasyarat keindahannya, puisi akan selalu mengajak seseorang baik penulis dan pembacanya untuk peka melihat seluruh realitas alam, baik keindahan ataupun sebaliknya. Atas dasar itu kemudian, pada hakikatnya memahami puisi juga bermakna memahami alam. Mari bersama berliterasi merawat ekologi, dari puisi untuk alam, yuk!
Oleh: Khulud
(Juara 1 lomba menulis essay pada ajang Pustaka Competition yang diadakan oleh Perpustakaan STAI Al-Anwar Sarang dengan sub tema Gerakan Literasi Merawat Ekologi)
[1] Ach. Qayyim Basyir, dalam https://www.duniasantri.co/pesantren-dan-jihad-ekologi-santri (Diakses 23 Februari 2024).
[2] Al-Qur’an, Hūd [7]: 61.
[3] Al-Qur’an, Al-A’rāf [7]: 56.
[4] M. Faizi dalam https://langgar.co/puisi-puisi-m-faizi/ (Diakses pada 24 Februari 2024)
[5] Zahrotul Liza, Bumi Yang Gersang Engkau Yang Terngiang (Karya belum dipublikasikan dan diminta langsung kepada penulis pada 25 Februari 2024)
[6] Dhiyaul Munawarah, “Santri Pesisir” dalam Bunga Rampai Suryakanta Tinta Pesantren (Sarang: DEMA STAI AL-ANWAR, 2023), 343.