Nobar dan Diskusi Kritis Warnai Pembukaan UKM Forum Ahadan

Sarang, Narasi Garda Pena – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum Ahadan menggelar acara Opening dengan konsep berbeda melalui kegiatan nonton bersama dan diskusi film, pada Minggu (28/9), di ruang Microteaching lantai 2 Gedung Maimoen Zubair (MZ). Berbeda dari UKM lain yang biasanya diisi dengan sesi perkenalan panjang, kegiatan ini hanya diawali perkenalan singkat, kemudian dilanjutkan dengan nonton bersama dan diskusi film.
Film berjudul “Pancasila Is Me: Antara Warga dan Kuasa” diputar sebagai refleksi untuk mengajak penonton menelaah kembali makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peserta tidak hanya diajak menonton, tetapi juga berdiskusi dan bertukar pandangan. Mengusung semangat diskusi sebagaimana fokus utama kegiatan UKM Forum Ahadan, Kharisa Ma’rifatul Khusna, selaku ketua Forum Ahadan, menjelaskan film yang disuguhkan berkaitan dengan isu politik terkini.
“Perkenalan Ahadan kan tentang diskusi. Nah, persoalan yang lagi hangat-hangatnya itu isu tentang politik,” ujarnya.
Pemutaran film dalam Opening kali ini bukan tanpa alasan. Film tersebut dipilih karena menyoroti hal-hal yang jarang tampak di permukaan, seperti dinamika yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Film tadi kan menyoroti yang tidak tersorot seperti KPK. Nah, tujuannya biar mereka mengetahui suatu kejadian bukan di permukaan saja, tapi lebih mendalam,” jelasnya.
Dalam sesi diskusi, Ali Jafar, S.Hum., M.A., selaku pembimbing UKM Forum Ahadan, memantik rasa penasaran peserta dengan menyinggung isi film. Ia menjelaskan bahwa KPK yang dulu dikenal independen, kini justru dilemahkan secara sistematis karena dianggap berbahaya oleh pihak tertentu. Isu yang dibahas kemudian berkembang ke ranah sosial-budaya, seperti larangan menikah beda agama.
“Jatuh cinta adalah pilihan pribadi. Orang tua aja nggak bisa ngatur, apalagi negara,” ujarnya.
Ia mengaitkan hal tersebut dengan persoalan yang lebih besar, yakni ketika cara hidup dianggap bertentangan dengan suatu nilai, pihak tertentu mudah memberi label—‘kalau kamu tidak sejalan, kamu dianggap tidak Pancasila’.
Ali Jafar juga menyoroti kebijakan terhadap kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, dalam negara demokrasi kebebasan berserikat seharusnya dijamin.
“Dalam negara demokrasi, orang itu diperbolehkan berserikat. Kalian bisa masuk ke JQH, monggo, kalian bisa masuk ke PSM, dan lainnya. Kita tidak bisa memaksa. Kayak di Amerika, itu ada sayap kanan, itu tidak bisa dibubarkan. Kalau negara membubarkan, berarti sudah melakukan otoritarianisme (sewenang-wenang). Maka yang bisa dilakukan negara adalah memantau,” jelasnya.
Diskusi ditutup dengan pengantar materi yang akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. Acara Opening UKM Forum Ahadan resmi berakhir pada pukul 15.21 WIB.
Reporter: Imelda Fresti Dwiana