Peran Strategis Santri dalam Pemertahanan Bahasa Indonesia di Era Globalisasi

Mahasantri berfoto bersama dengan Ketua STAI Al-Anwar, Wakil Bupati Rembang, Ketua Kementerian Agama Rembang, Wakil Rektor UNNISULA, dan Dewan Redaksi "Suara Merdeka Network" Semarang

Musyawarah fiqih santri Pondok Pesantren Al Anwar 3, Sarang, Rembang

Latar Belakang

Dewasa ini, dalam menghadapai era globalisasi sudah menjadi realitas inklusif jika terdapat banyak perubahan yang terjadi di tengah masyarakat, baik perubahan dari sektor ekonomi, transportasi, teknologi, pendidikan, termasuk interaksi sosial-budaya di tengah masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah realitas penggunaan bahasa sebagai sarana manusia untuk berpikir dan memperoleh ilmu pengetahuan. Di samping itu, bahasa juga menjadi simbol sebuah pemahaman dalam memperoleh  keahlian yang dapat digunakan di lingkungan sekitar ia tinggal.

Pemertahanan serta pemberdayaan bahasa di suatu wilayah atau bahkan negara sangatlah diperlukan, tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki 652 ragam bahasa di setiap daerah (Kemendikbud, 2018) sebelum akhirnya bahasa Indonesia secara resmi ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada saat sumpah pemuda tahun 1928. Pemberdayaan dan pemertahanan bahasa Indonesia dianggap penting karena bangsa Indonesia harus mempertahankan jati diri bangsanya dari pengaruh globalisasi yang banyak melibatkan pengaruh budaya asing yang mudah sekali masuk di tengah bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia tergolong negara yang kaya akan keragaman bahasa yang menjadi ciri khas daerah di dalamnya.

Keragaman bahasa di Indonesia seringkali mendisrupsi penggunaan bahasa Indonesia di dalam lingkungan sosial yang teguh akan pemertahanan budaya lokal, khususnya di lingkungan pesantren salaf. Namun, realitas itu dapat diantisipasi dengan proses elaborasi yang objektif sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berada di lingkungan tersebut. Demikian pula dengan realita lingkungan yang berada di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang didirikan oleh almaghfurlah K.H. Maimoen Zubair, berlokasi di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

Mbah Moen, sapaan akrab K.H. Maimoen Zubair berupaya mengelaborasikan budaya lokal yang berada di lingkungan pesantren dan menyelaraskan realitas perubahan arus globalisasi yang terjadi dewasa ini. Sebagai objek lingkungan yang dialektis antara pemertahanan budaya lokal dan inklusivitas perubahan global, pesantren (santri) sangat berperan memberikan kontribusi besar dalam rangka pemertahanan serta pengembangan bahasa Indonesia secara lebih maksimal. Di samping sudah sah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dalam RUU Pesantren tahun 2009, santri yang menapaki dunia pendidikan pesantren harus benar-benar disiapkan sebelum melangkahkan kakinya ke lingkungan masyarakat, dan santri diharapkan mampu bersaing di tengah arus globalisasi minimal dengan memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pesantren sebagai model pendidikan kuno yang diwariskan oleh Wali Songo pada awal penyebaran Islam, budaya yang berkembang di dalamnya tidak mudah lepas hanya karena perubahan situasi zaman, sehingga bahasa lokal yang terdapat di suatu pesantren tersebut masih tergolong kental. Proses elaborasi inilah yang kemudian menjadi konsep strategis atas peran santri dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia di era globalisasi.

Baca Juga:  Atas Nama Santri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *