Kisah Perjalanan Mengikuti MUKERNAS PPMI XIV di Jogjakarta
Seorang pendongeng tidak akan berhenti bercerita selain dirinya tahu alasan dia menjadi pendongeng
Prolog
Hantaman polemik menerpa organisasi mahasiswa di STAI Al-Anwar. Betapa mengganasnya api menyulut dan membakar semangat mahasiswa. Namun, satu ungkapan peredam dalam berorganisasi berhasil menaklukkan ganasnya bakaran api, “change or die” (berubah atau mati).
“Organisasi adalah zirah bagi mahasiswa yang tahan akan tusukan pedang,” begitu mahasiswa aktivis menafsirkan.
“Organisasi adalah perisai kebodohan bagi mahasiswa yang tak lelah meningkatkan intelektual,” begitu mahasiswa akademisi menafsirkan.
Mahasiswa aktivis ataupun akademisi sama saja. Tanpa organisasi, sulit rasanya dikenal apalagi dikenang. Bukan tanpa alasan, bisa bayangkan apa jadinya ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dapat terakomodir oleh KH. Hasyim Asy’ari tanpa Nahdlatul Ulama. Nama beliau dikenal sekaligus dikenang oleh seantero jagat Nusantara, bahkan dunia.
Saat menjadi mahasiswa, Saya dikenalkan organisasi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Garda Pena. Mulai saat itu, “pers” mulai tumbuh dalam benak. Semuanya berkat organisasi yang dipegang oleh orang-orang hebat. Tanpa mereka yang tanpa lelah merasakan pahit-getirnya berorganisasi, Saya bukan apa-apa. Sampai akhirnya mandat berorganisasi jatuh di tanganku yang tak begitu berdaya.
Bangga menjadi pilihan, tanggung jawab pun menjadi taruhan. Keduanya harus saling bersinggungan, tanpa harus ada yang dikalahkan. “Untuk apa kebanggaan tanpa tanggung jawab yang dikerjakan?!” Pikirku
PPMI Bagian dari Tanggung Jawab
Tanggal 24 sampai 27 Februari menjadi momen penting sekaligus kesempatan belajar tentang “pers mahasiswa”. Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) ke-14 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Yogyakarta. Berlokasi di Duta Wisma Wacana, Kaliurang, Sleman, DIY. Momen tersebut menjadi wacana penting dalam memahami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang menjadi tanggung jawab organisasi saya di STAI Al-Anwar.
“Saya harus mendapatkan pengalaman belajar agar bisa dibagikan kepada kawan-kawan di LPM setelah mengikuti kegiatan,” tekad yang muncul dalam benak.
Sudah sejak lama, LPM sebagai “pers” kehilangan jati dirinya. Pers yang dinisbatkan pada nama lembaga menjadi hilang karena minimnya pengetahuan tentang “pers” itu sendiri. Oleh karena itu, tugas saya adalah mencari tahu dan lebih banyak mengeksplore jati diri “pers” agar kembali ke nilai yang sebenarnya.
PPMI sebagai organisasi “pers” skala nasional membuka wawasan yang lebih jauh mengenai pergerakan pers di wilayah mahasiswa. Bersyukur sekali ketika LPM Garda Pena mendapatkan undangan dari PPMI yang secara resmi ditujukan kepada seluruh LPM di Indonesia.
Awalnya, PPMI begitu asing di telinga kami. Tidak begitu banyak orang tahu tentang organisasi tersebut. Agar menjadi tahu, akhirnya kami mencari informasi yang dimuat di media-media online mengenai kiprah dan legalitas organisasi tersebut sehingga kami memutuskan untuk menghadiri undangan MUKERNAS ke-XIV yang diselenggarakan PPMI di Yogyakarta dengan tema “Suara Persma, Suara Inklusivitas”.
Akhirnya, LPM Garda Pena memberangkatkan dua mahasiswa sebagai perwakilan dalam kegiatan tersebut. Kami hanya mendapatkan izin keluar dengan biaya tabungan pribadi.
Perlu diketahui juga, PPMI mengakomodir daerah yang berada di bawah naungan pengurus Nasional dikenal dengan istilah Dewan Kota (DK). LPM Garda Pena termasuk dalam DK Muria yang meliputi wilayah plat “K”, yakni Kudus, Jepara, Blora, Pati, dan Rembang.
Belajar dari PPMI
Sebagai organisasi skala Nasional, PPMI dengan luar biasa mengakomodir seluruh LPM di Indonesia. Dengan jumlah peserta 200 lebih dari berbagai LPM di Indonesia, kegiatan di Jogja mampu diselenggarakan sangat baik dan rapih. Menurut salah satu panitia kegiatan, Angga mengaku bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan secara mandiri. PPMI mengandalkan sponshorship dari berbagai perusahaan, tidak didanai oleh pemerintahan ataupun asosiasi resmi Nasional.
“Kegiatan ini tidak sama sekali di biayai pemerintah, karena PPMI sendiri merupakan perhimpunan yang independen. Biaya kami dari sponshorship dan juga biaya registrasi teman-teman yang mengikuti kegiatan,” terang Angga yang juga pengurus LPM di UGM.
Kemandirian itu mengajarkan nilai sosial yang begitu tinggi. Sebuah organisasi tidak manja menunggu aliran dana yang dapat dengan mudah didapatkan. Saya yakin jika prosesnya pun sangat panjang hingga menyelenggarakan kegiatan yang sebegitu meriahnya.
PPMI berdiri sejak 15 Oktober 1992. Perhelatan pergerakan pers di wilayah mahasiswa cukup memeras banyak keringat perjuangan. Sebagai penggerak media massa saat itu, PPMI memerankan dirinya begitu apik dalam menyuarakan hak masyakarat pada masa Orde Baru. Sesuai bidangnya, PPMI banyak berkontribusi melahirkan opini-opini publik yang dimuat di dalam media massa. Media massa yang biasanya digunakan ialah media massa cetak, seperti majalah, koran, dan media massa yang lain.
Sekretaris Jendral (SekJend) Nasional, Primo Rajendra Prayoga mengharapkan jika Pers Mahasiswa (Persma) harus tetap menjaga warisan para alumni yang dibentuk dengan penuh perjuangan.
“Kita jaga PPMI ini agar bisa tetap terus memperjuangkan perjuangan para alumni kepada PPMI ini,” tegas Primo yang menjadi SekJend terpilih dan berasal dari DK Surabaya.
Perjuangan PPMI serta semangat para pengurus menjadi nilai pembelajaran kedua dari PPMI. Catatan penting yang digarisbawahi, “PPMI tidak sama sekali diintervensi oleh pihak manapun dalam kegiatan jurnalistik. Sebagai Persma, independensinya secara lembaga dan kemandiriannya dalam mengelola organisasi sudah menjadi bagian pengabdian mahasiswa kepada masyarakat”.
Serba-Serbi MUKERNAS
Waktu 4 hari di Jogja tidak begitu singkat. Kegiatan waktu itu menyuguhkan kesan yang luar biasa di ingatan para peserta, termasuk kami. Rangkaian kegiatan Mukernas cukup beragam dan variatif.
Hari pertama si Jogja, kegiatan dibuka simbolis pemotongan tumpeng oleh Sekjend Nasional (Primo Rajendra Prayoga) dan SekJend DK Yogyakarta (Yohanes Mahar). Selain itu, sambutan-sambutannya disampakan penuh harap, begitu juga sambutan hangat dari Ketua Panitia pada Kamis siang (24/2) pukul 13.00 s.d. 14.00. Termasuk mengenalkan tema kegiatannya, yakni “Suara Persma, Suara Inklusivitas”.
Masih di hari pertama, peserta dibekali materi dengan tema “Media dan Inklusivitas” menyesuaikan tema kegiatan yang diusung pada Kamis sore (24/2) selama kurang lebih 1 jam setengah. Dilanjutkan musyawarah Tata Tertib Persidangan pada malam hari yang berlangsung dari pukul 20.00 hingga pukul 01.00 dini hari. Cukup melelahkan dan memakan banyak waktu saat itu, hingga kegiatan hari pertama ditutup dengan pemilihan Pimpinan Sidang yang dilaksanakan pagi harinya.
Di hari kedua pada Jum’at (25/2), agenda kegiatan penuh diisi momentum persidangan. Persidangan itu dilaksanakan sebanyak tiga sesi. Sesi pertama dilaksanakan pukul 08.00 s.d. 11.30; sesi kedua dilaksanakan pukul 13.00 s.d. 16.00; dan sesi terakhir dilaksanakan pukul 20.00 s.d. 00.00. Ditutup dengan pemilihan kota sebagai tuan rumah kegiatan Kongres PPMI ke XVII. Akhirnya, dipilihlah kota Surakarta sebagai tuan rumah pada Kongres pada satu tahun mendatang.
Hari ketiga mendapat ruang praktik lapangan jurnalistik. Kegiatan itu disebut “Marathon Jurnalistik” yang diikuti oleh seluruh peserta secara berkelompok. Kelompok itu diacak dari berbagai LPM. Kegiatan itu sekaligus kesempatan peserta menemukan banyak hal di Jogja. Praktik jurnalistik itu bertemakan “inklusivitas” dan disebar ke beberapa lokasi di Yogyakarta. Lokasi praktik itu di antaranya Malioboro, Alun-alun Selatan, Kampung Sayidan, Perempatan Condongcatur, Pondok Pesantren Wariya Al-Fatah, Kotagede, dan sebagainya.
Selama separuh hari Marathon Jurnalistik diadakan, kegiatan malam puncak tidak terhindarkan. Dengan kondisi cukup lelah setelah Marathon Jurnalistik, pada malam harinya diadakan pentas seni serta panggung hiburan bagi peserta. Para peserta melepas lelah dan capek pada kegiatan terakhir itu.
Pada hari terakhir di Jogja cukup kami sebut “sayonara”. Sesi foto bersama dengan kawan-kawan baru di sana menjadi momen yang penting untuk tidak ditinggalkan. Bahkan, kelompok yang tergabung pada kegiatan Marathon Jurnalistik masih sempat berkumpul untuk makan-makan dan melakukan sesi foto secara lengkap.
Seluruh rangkaian kegiatan itu bersifat ceremony. Suasana di lokasi kegiatan pun cukup menarik. Pameran karya jurnalistik menghiasi seluruh rangkaian kegiatan saat itu di Jogja. Karya itu ada yang bisa dibawa pulang atau hanya bisa diliat-liat saja. Untungnya, kami berkesempatan mengambil karya-karya itu secara gratis.
Bonus Berkunjung dan Belajar dari LPM di UGM
Kegiatan selama 4 hari di Jogja menyisakan banyak kenangan, bahkan dalam pergaulan. Kami membersamai tiga orang kawan yang berasal dari Padang; dua orang dari LPM Wawasan Proklamator (Universitas Bung Hatta), dan satu lagi berasal dari Surat Kabar Kampus Ganto (Universitas Negeri Padang). Akhirnya, yang awalnya hanya dua orang menjadi berlima.
Lokasi kegiatan mulai ditinggalkan oleh peserta pada Ahad (27/2) pukul 14.00. Kami memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu dan mampir di kontrakan kawan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka). Satu hari pasca kegiatan menjadi kesempatan berharga untuk mengukir kenangan dengan teman-teman LPM yang masih berada di Jogja. Banyak basecamp LPM di Jogja membuka pintu untuk dijadikan penginapan sementara. Di antaranya LPM Arena (UIN Suka), LPM Himmah Atas (Universitas Islam Indonesia), LPM Presisi (Institut Seni Indonesia), dan basecamp lainnya.
Satu hari pasca kegiatan, Senin (28/2) kami menemui beberapa kawan LPM yang masih di Jogjakarta. Ada sekitar 7 orang selain kami yang berlima. Mayoritas berasal dari luar Jawa. Hanya satu kawan yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Kami merencanakan untuk pergi berkunjung ke LPM Bulaksumur dann Balairung di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Banyak hal yang kami tanyakan kepada kawan LPM di UGM, termasuk dalam pergerakan “pers”. Kami menerima banyak pengetahuan baru dari LPM yang sudah berdiri sejak tahun 1985. Ditemani dengan lebih dari sepuluh orang dari UGM, kami melakukan relasi dan sharing pengalaman. Cukup memberikan inspirasi yang berharga dari hasil kunjungan itu.
Saat mengobrol dengan Pemimpin Redaksi LPM Balairung, Vares kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menggali banyak informasi. Termasuk di dalam pembahasannya yakni proses menjadi “pers mahasiswa”, program kerja, kaderisasi, perekrutan mahasiswa, dan lain sebagainya.
Kunjungan itu kami jadikan sebagai proses belajar untuk dibawa pulang. Tidak hanya pembelajaran yang bisa kami bawa pulang, ternyata kami diberikan beberapa karya jurnaslistik dari LPM di UGM. Lumayan bisa dicontoh di bagian karyanya juga.
Hal masih membekas di benak saya adalah saat ditanya, “LPM Garda Pena scope (sasaran) kejurnalistikannya apa? Apa isu yang sedang dikawal di sana?”.
Saya hanya bisa menjawab, “Masih seputar kampus dan kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Kalau isu, kami belum sampai membahas lebih dalam walaupun sebenarnya banyak isu yang harus dikawal. Itu karena lembaga kami berbasis pesantren juga, jadi ruang gerak kami masih terbatas,” jawabku spontan dengan mengenalkan STAI Al-Anwar yang berbasis pesantren.
“Oh, wajar Mas di pesantren ruang geraknya terbatasi. Saranku, tetap dijalankan dan temukan formula yang tepat untuk kegiatan jurnalistik! Semangat!” Ungkap mahasiswa kelahiran Lumajang, Jawa Timur.
Epilog
Pembelajaran dari serangkaian kegiatan itu mengingatkan kita, khususnya saya agar bangga dengan lembaga dan instansi yang kami duduki. Hal yang baru kami sadari adalah dari sekian banyak peserta yang hadir di kegiatan Mukernas, hanya kami yang dari Sekolah Tinggi. Tapi, kami tetap bangga dengan yang kami miliki di STAI Al-Anwar. Yang terpenting bagi kami, saat keluar di mana pun harus tetap bangga dan menjaga nama baik almamater.
Pesan yang membekas sampai saat ini adalah “Kembangkan kegiatan jurnalistik bagi mahasiswa, karena itu adalah bagian dari proses belajar dalam menulis dan menyiapkan diri menjadi seorang jurnalis”.
Penulis: Taftazani Ahmad