Kita, Gibran dan Satu Buku Satu Semester
Januari, A-nya apa?
“A”yo kita bareng-bareng taubat literasi. Dengan cara seperti apa? “A”yo bareng-bareng ramaikan perpustakaan.
Sedikit aneh dan berlebihan memang ketika harus memaksakan penggunaan diksi/kata taubat, apalagi dalam hal yang secara pasti bukan sebuah kewajiban dan tidak akan berdosa jika ditinggalkan. Alasan ini mungkin bisa diterima secara akal, namun jelas akan ditolak secara hati nurani.
Bagaimana tidak, perpustakaan tidak akan pernah berbohong untuk menampilkan datanya tentang berapa banyak pengunjung dalam setiap harinya, dan tentang berapa banyak buku dengan genrenya yang kita pinjam selama ini—yang tak lebih itu hanya sebagai tuntutan tugas makalah dan presentasi yang menyebalkan. Belum lagi, tentang pengunjung-pengunjung nakal yang hanya menjadikan perpustakaan sebagai tempat mendinginkan kepala, penitipan barang, atau bahkan hanya sebagai tempat untuk saling bertukar senyum dengan doi. Inilah kenyataan pahit tentang kondisi perpustakaan kita, dan tentunya kita harus jujur untuk mengakui itu semua.
Kalau memang demikian kenyataannya, bukankah itu juga termasuk dosa literasi namanya? Terserah hati nurani teman-teman mau menyebut fenomena di atas sebagai apa. Mau dosa literasi, kecelakaan literasi, atau mungkin sebagai sesuatu yang wajar dan tidak penting disorot, pun juga tidak apa-apa. Namun yang pasti, sekali lagi, perpustakaan tidak akan berbohong untuk menampilkan data ironi literasi kita.
Satu sampai tiga di antara kalian mungkin akan berkomentar: “Toh membaca buku tidak selamanya harus di perpustakaan terus kok!”, “Toh sekarang sudah zaman digital, e-book, artificial intelligence dll.” “Tidak usah muluk-muluk, sekarang sudah era serba digital.”—yang secara nyaman kita bisa membaca dan berdiskusi secara bebas. Komentar-komentar ini sekilas mungkin bisa diterima di waktu-waktu tertentu, tetapi tidak bisa diterima ketika harus dijadikan sebagai alasan untuk tidak ke perpustakaan. Kenapa demikian?
Ageng Indra dalam epilog buku berjudul Kenapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun? (2023) mengingatkan kita bahwa membaca buku adalah bentuk lain percakapan, baik berbentuk cetak, e-book, atau audio buku. Namun, dalam mewariskan imajinasi, buku lebih efektif. Itu artinya, buku mengajak kita melibatkan tubuh dalam setiap kegiatan membaca. Tubuh yang terbiasa gerak karena membaca buku cetak, secara tidak langsung juga berpengaruh pada melekatnya sebuah ingatan.
Aib dan Nasib Literasi Kita
Entah berapa kali kita mendengar, bahwa dalam sejarahnya Islam pernah kuat dan terkenal tidak lain dengan kisah mengenai buku dan literasi. Ketika para khalifah Dinasti Abbasiyah menaruh perhatian lebih pada peradaban kala itu. Tepatnya pada abad ke-9 M, Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun membangun perpustakaan dengan jumlah hampir sejuta buku. Ada 800 perpustakaan berdiri, hingga akhirnya Bayt al-Hikmah berdiri dan menjadi balai pengetahuan yang memuat berbagai kegiatan penerjemahan dan penelitian dunia.
Tidak hanya itu, dalam sebuah literatur dijelaskan bahwa Khalifah al-Aziz di Kairo pada abad ke-11 memiliki koleksi hingga mencapai 1.600.000 buku. Konon, zaman itu juga disebut-sebut sebagai The Golden Age of Islam, karena Islam menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Kita bisa membayangkan pengaruh apa yang terjadi jika penguasa/pemimpin menyukai buku.
Sayang sekali, itu hanya sebagai romantisme kejayaan Islam masa lalu. Entahlah, saya sangat amat skeptis sejarah ini bisa berpengaruh dalam poros literasi kita dewasa ini. Apalah daya, kalau boleh saya katakan, poros literasi kita dewasa ini begitu memprihatinkan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, UNESCO mengabarkan bahwa hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Bisa disimpulkan, masyarakat kita sudah tidak lagi merawat penyakit: enggan ke perpustakaan, seperti yang saya singgung di muka. Tetapi sudah pada kehilangan gairah untuk membaca.
Jauh dari masa Dinasti Abbasiyah dan Kairo tentang sejarah literasinya, kita sampai pada sejarah negeri kita sendiri yang makin memprihatinkan—kalau tidak mau disebut memalukan. Sejarah memalukan ini datang dari Wakil Presiden terpilih kita tercinta, Gibran Rakabuming Raka, yang dengan santainya dalam sebuah forum mengatakan bahwa tidak ada budaya membaca yang tumbuh di keluarganya. Pernyataan ini mengagetkan siapa pun yang mendengar. Di tengah krisis literasi dan jerih payah keluarga-keluarga Indonesia sedang menempuh berbagai cara agar tumbuh budaya literasi bagi anak-anaknya, musibah datang dari keluarga nomor satu di Indonesia. Karena menusuk jantung bumi pertiwi, apa yang kemudian bisa kita harapkan dari model pemimpin seperti ini?
Tak bisa dibayangkan, seperti apa susah payah guru-guru mengajari kita tanpa bosan tentang sejarah peradaban dan kejayaan Islam masa lalu, juga tentang pentingnya menumbuhkan semangat literasi sejak kecil untuk membuka cakrawala dunia. Pada akhirnya, kita merindukan kembali sosok pemimpin seperti Mohammad Hatta yang suatu hari pernah berujar, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku-buku. Karena dengan buku aku bebas.”
Kita rindu sosok pemimpin seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dalam cerita familiarnya mengalami gangguan penglihatan hanya gara-gara sering membaca buku. Kita rindu sosok pemimpin seperti Bacharuddin Jusuf Habibie, yang dalam perjalanan intelektualnya bisa merakit pesawat dan menguasai berbagai bahasa asing, tidak lain dan tidak bukan karena buku. Lalu, kepada siapa rindu ini akan berlabuh?
Sayangnya, Gibran tidak pernah belajar tentang sejarah peradaban dan kejayaan Islam masa lalu. Gibran tidak pernah mau tahu tentang cita-cita dan pencapaian sosok-sosok pemimpin Indonesia masa lalu. Waktu kanak-kanaknya mungkin hanya ia habiskan untuk bermain, bermain, dan menyusu. Karena sekali lagi, sejak awal memang tidak ada budaya literasi yang tumbuh di keluarganya. Inilah sekilas sosok yang akan memimpin bangsa kita ini hingga tahun 2029 nanti.
Satu Buku Satu Semester dan Angin Segar Nasib Literasi Kita
Lupakan Gibran, biarlah ia sadar dengan sendirinya bahwa apa yang ia katakan akan berefek pada bagaimana poros peradaban literasi bangsa ini ke depannya. Toh, tidak ada budaya membaca di keluarganya saat ini, bukan berarti akan demikian selamanya. Kita boleh yakin, barangkali Gibran akan segera bertaubat literasi, dengan cara seperti apa? Setidaknya dengan membuat kebijakan yang pro pada peningkatan minat baca. Kebijakan inilah yang mungkin bisa menjadi penebus atas dosanya di hadapan buku. Sama, tidak suka pergi ke perpustakaan juga bukan berarti tidak suka membaca. Hanya saja, inilah realitas literasi kita yang sebenarnya.
Namun jauh hari sebelum yang Gibran ucapkan, angin segar datang dari kampus berbasis pesantren, kampus kita tercinta: STAI Al-Anwar Sarang. Di bawah asuhan K.H. Abdul Ghofur Maimoen, kampus kita membuat kebijakan agar para mahasiswanya melek literasi dan bisa jatuh cinta pada membaca. Kebijakan agar bisa mengkhatamkan minimal satu buku (genre sastra/ilmiah) dalam jangka satu semester, layak diapresiasi. Karena yang pasti, kebijakan ini menjadi satu bukti kepekaan dan langkah konkret untuk menumbuhkan budaya literasi bangsa ini.
Kampus kita paham betul betapa Islam pernah jaya dengan tingkat literasinya dan menjadi kiblat peradaban dunia kala itu. Kampus kita juga sadar betul betapa bangsa ini tumbuh dari sosok-sosok pemimpin seperti Hatta, Habibie, Gus Dur dan sosok pemimpin lainnya yang memiliki kecintaan pada membaca. Akhirnya, kita lega masih mempunyai sosok pemimpin seperti K.H. Abdul Ghofur. Sosok yang tanpa kenal lelah selalu mencontohkan dan mengingatkan kita para santri atau mahasiswanya, untuk gemar membaca kitab dan buku, juga untuk sering-sering pergi ke perpustakaan. Bersama buku kita mampu, bersama STAI Al-Anwar kita berdaya*
Tinggi menjulang
Ilmu dan peradaban
Budi pekerti dan akhlak terpuji
Itulah generasi para penerus nabi
Simbol kejayaan di masa silam
Era nan baru
Perubahan melaju
Suguhkan bagimu sebuah tantangan
Tampil di masa kini
Ilmu salaf terpatri
Kembalikan kejayaan yang hilang
*M. Faidh Fasyani, Perawat Buku di Perpustakaan STAI Al-Anwar dan Aktif di UKM Forum Ahadan