Tragedi Bos Rental Mobil dalam Perspektif Teori Justice
Narasi Garda Pena- Pancasila sebagai simbol negara Indonesia memiliki dua sila yang memuat tentang keadilan, yakni sila kedua dan sila kelima. Jika melihat kondisi Indonesia di era digital ini, rasanya kedua sila tersebut hanyalah sebagai simbol tentang keadilan saja. Faktanya hukum di negara Indonesia ini seakan-akan runcing ke bawah tapi tumpul ke atas. Lebih tepatnya, keadilan bisa dibeli oleh yang kaya sedangkan yang miskin hanya menunggu waktu untuk masuk ke jeruji besi.
Bukan tanpa alasan, beberapa kasus sudah membuktikan hal tersebut. Misalnya kasus yang baru terjadi pada bulan Juni lalu, tragedi bos rental mobil di Sukolilo, Pati. Dilihat dari kacamata Pancasila, tentunya tragedi tersebut sudah melanggar sila yang kedua. Bagaimana tidak? tragedi tersebut bermula ketika bos dan ketiga rekannya mencari mobil rental yang hilang melalui GPS. Setelah ditelusuri ternyata berada di wilayah Sukolilo, mereka lantas berangkat ke lokasi guna mencari keberadaan mobil tersebut.
Pada hari Kamis sekitar pukul 13.00 WIB mereka tiba di lokasi dan menemukan mobil tersebut. Namun, nasib buruk bagi mereka saat hendak mengambil kembali mobil rental miliknya dengan kunci cadangan. Warga setempat yang melihat hal tersebut mengira bahwa mereka maling. Alhasil mereka habis diamuk masa dan mobil yang dikendarai keempat orang tersebut hangus dibakar.
Menurut teori Justice, tragedi bos rental mobil di Sukolilo merupakan suatu insiden yang sangat bertentangan dengan konsep keadilan dan nilai-nilai Pancasila. Sedangkan Menurut Rawls, ketidaktahuan akan detail tentang diri sendiri ini akan mengarah pada prinsip-prinsip yang adil bagi semua orang karena ia pasti akan mengembangkan skema keadilan yang memperlakukan semua orang secara adil. Jika seorang individu maupun kelompok dalam masyarakat memiliki rasa ketidaktahuan pada suatu objek, mereka harusnya mengembangkan skema tersebut.
Jika menelaah tragedi bos rental mobil di Sukolilo, dapat disimpulkan bahwa para masyarakat setempat tidak memberlakukan skema keadilan seutuhnya. Bahkan bisa dibilang tidak menerapkannya sama sekali. Faktanya warga setempat yang melihat bos dan ketiga rekannya saat mau mengambil mobil miliknya langsung mengeksekusi mereka tanpa berbicara baik-baik terlebih dahulu.
Jika dikaitkan dengan Pancasila, teori Justice selaras dengan sila kedua dan sila kelima dari Pancasila, yaitu sama-sama membicarakan tentang keadilan. Hanya saja di dalam Pancasila, sila kedua menyebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab,” dan sila kelima menyebutkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sedangkan dalam teori Justice menyatakan bahwa kebebasan dan kesetaraan dalam keadilan setiap masyarakat harus terstruktur.
Pada dasarnya setiap orang itu memiliki keadilannya masing-masing. Dalam praktiknya, keadilan setiap individu maupun kelompok masyarakat tentu berbeda. Ada yang hanya sebatas berbuat adil karena takut akan hukum yang berlaku di daerahnya, ada juga yang menegakkan keadilan karena uang, jika tidak ada uang maka hilang sudah keadilan tersebut.
Tragedi bos rental mobil di Sukolilo telah menjadi salah satu bukti bahwa Pancasila dan teori Justice belum sepenuhnya dapat ditegakkan di Indonesia. Jika dilihat lebih seksama, yang menjadi faktor adanya tragedi tersebut ialah kurangnya tabayyun (mencari kejelasan atau kebenaran suatu hal).
Laksamana Aokiji pernah berkata bahwa “keadilan dapat ditegakkan dalam berbagai cara, tergantung situasi dan kondisi.” Berdasarkan ungkapan tersebut seharusnya masyarakat setempat walaupun sedang berada dalam kondisi yang lumayan tegang, tetap harus bisa berpikir secara jernih. Semisal mencoba mendatangi bos dan ketiga rekannya secara baik-baik dan mencari tahu kebenaran atas apa yang telah dilakukannya, supaya tidak menimbulkan hilangnya keadilan terhadap bos dan ketiga rekannya.
Oleh: Mohammad Asif Abduh (mahasiswa prodi IQT STAI Al-Anwar Sarang)