Refleksi Terhadap Gagasan Populisme dari Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi di Indonesia
Narasi Garda Pena- Perkembangan demokrasi pasca Orde Baru bersamaan dengan tumbuhnya politik identitas dalam perebutan kekuasaan. Bahkan, politik identitas ini lebih terlihat jika dibandingkan dengan pertarungan program-program. Populisme yang berkaitan dengan politik identitas akan terus menjadi isu dalam pemilu karena kandidat juga mewakili identitas tertentu, seperti Jawa, Islam, dan luar Jawa.
Populisme diperkirakan masuk di Indonesia sejak Pemilu 2014, dan menjadi semakin banyak diteliti setelah peristiwa pemilihan tersebut. Pemilu 2014 ini melibatkan dua kandidat dengan gaya kepemimpinan populis, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya sama-sama membawa narasi populisme, meski dengan beberapa perbedaan. Prabowo Subianto adalah contoh kandidat populis text-book. Ia menggambarkan sistem yang ada sebagai hal yang rusak dan dirinya akan memperbaiki semua. Ia juga menyerang kepentingan asing. Di sisi lain, Joko Widodo menawarkan narasi yang lebih lunak dengan rencana memperbaiki dari dalam dan menggambarkan diri sebagai figur yang lebih inklusif dan tidak konfrontatif.
Ide, gagasan, atau fenomena populisme telah menjadi pembahasan sejak lama. Namun, perbincangan mengenai populisme di kalangan masyarakat umum, khususnya di Indonesia, masih sangat sedikit didengar. Hal ini terjadi karena kurang tertariknya masyarakat umum terhadap dinamika politik Indonesia. Masyarakat Indonesia masih percaya bahwa politik sekadar perebutan kekuasaan oleh elit yang tidak mungkin orang awam pahami. Karena jarang dibahas oleh masyarakat umum, populisme akhirnya hanya menjadi bahan penelitian atau pembahasan artikel ilmiah yang meneliti tentang fenomena sosial dan politik. Fenomena ini jarang menjadi isu atau bahan perbincangan di kalangan masyarakat umum. Padahal, fenomena populisme dapat dirasakan kehadirannya dan mempengaruhi tatanan sosial dan politik di suatu negara.
Berbagai literatur umumnya membagi populisme di Indonesia menjadi tiga jenis, yakni (1) populisme nasionalis Prabowo dengan nilai sauvinisme, anti-demokrasi, serta sentimen anti-asing; (2) populisme teknokratik Jokowi dengan fokusnya kepada pembenahan pelayanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan; (3) populisme Islam yang menciptakan narasi pertentangan antara umat Islam dan golongan yang dianggap “kafir” dengan menggunakan sentimen xenophobia dalam retorikanya. Fakta-fakta tersebut menunjukkan cukup suburnya pertumbuhan populisme di Indonesia yang juga dimanfaatkan sebagai strategi efektif untuk memenangkan kontestasi elektoral.
Seorang pemimpin yang populis piawai memainkan narasi demokrasi dengan kebijakan pro-rakyat. Seiring kuatnya kekuasaan, diam-diam pemimpin tersebut menelikung prinsip demokrasi. Ada tiga ciri utama yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi populisme, yaitu:
Pertama, pemimpin populis menerapkan kebijakan jangka pendek yang terkesan pro-rakyat. Biasanya, kebijakan tersebut berupa kebijakan sosial seperti subsidi, pensiun, dan fasilitas gratis. Namun, sering kali kebijakan instan ini tidak mengindahkan stabilitas ekonomi dan kepentingan jangka panjang suatu negara.
Kedua, pemimpin populis memiliki konsep “rakyat” yang sempit karena dibatasi identitas tertentu seperti etnis, ras, dan agama.
Ketiga, gaya kepemimpinan yang populis cenderung membangun kultus personal dan mengklaim diri memiliki otoritas sehingga bisa independen dari lembaga demokrasi, terutama partai. Pemimpin populis membangun oposisi agar mereka bersama rakyatnya memiliki musuh yang sama. Meskipun demikian, populis tak menyukai lembaga demokrasi yang selama ini ditugasi mengawasi pembagian kekuasaan seperti pengadilan, legislatif, dan media massa. Lembaga-lembaga itu dalam beberapa kasus menjadi target pelemahan karena dianggap menghalangi kepentingan pemimpin populis.
Jalan Indonesia menuju populisme pragmatis terentang jauh sejak awal kemerdekaannya. Populisme pragmatis sebagai strategi menarik dukungan dipergunakan pertama kali oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Ia menggunakan strategi populis dengan doktrin Marhaenisme yang mewakili perjuangan kelas pekerja di pedesaan atau “wong cilik”. Gagasan “wong cilik”tersebut hingga kini masih relevan dalam politik Indonesia. Presiden kedua RI, Soeharto, kemudian menekan politik massa dan populisme di Indonesia.
Kebangkitan populisme di Indonesia dimulasi di era reformasi dengan kemunculan Megawati Soekarnoputri yang membangkitkan kembali doktrin ayahnya tentang Marhaenisme. Megawati sempat dipandang sebagai simbol yang merepresentasikan rakyat Indonesia yang menjadi korban rezim otoriter Soeharto. Namun, Megawati mungkin yang pertama mempraktekkan populisme pragmatis di Indonesia. Dia mewarisi citra populis ayahnya, namun kebijakan pemerintahannya bersifat pragmatis. Pada masa kepemimpinannya, terdapat ketidakpuasan masyarakat dalam isu privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Presiden RI selanjutnya menggunakan populisme dengan lebih pragmatis yang tergambar dalam kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia memanfaatkan subsidi ekonomi berupa bantuan langsung tunai menjelang pemilihan presiden untuk meningkatkan citra positifnya yang sempat turun.
Pada akhirnya, pemahaman yang lebih kritis terhadap strategi populis dapat membantu masyarakat membuat keputusan lebih cerdas dan bijaksana berdasarkan fakta yang telah terjadi sehingga demokrasi kita tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya dengan begitu, kita dapat menghindari jebakan populisme yang merugikan, memilih pemimpin yang benar-benar mampu memantik kepedulian, dan mendorong perkembangan serta perubahan positif bagi bangsa.
Dengan demikian, populisme bukan hanya sekadar menjadi bahan penelitian atau pembahasan sebuah artikel ilmiah tentang fenomena sosial dan politik. Akan tetapi, ia dapat menjadi isu atau bahan perbincangan di kalangan masyarakat umum sehingga fenomena ini dapat dirasakan kehadirannya. Diharapkan, pengetahuan dan perhatian masyarakat akan isu populisme ini dapat memengaruhi tatanan sosial dan politik di suatu negara.
Oleh: Adina Agung Eko Laksono