Kajian Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Dilihat dari Kondisi Obyektif dan Ketidakberdayaan Pekerja

Narasi Garda Pena – Pemerintah telah menerapkan berbagai model pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, pemberdayaan yang dilakukan seharusnya mempertimbangkan kemampuan, wilayah, dan potensi pengembangan daerah yang menjadi sasaran. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang saat ini masih terperangkap dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat berarti memberikan kemampuan dan kemandirian kepada mereka. Proses pemberdayaan ini menekankan pada upaya memberikan kemampuan kepada masyarakat, mereka menjadi berdaya, serta mendorong atau memotivasi individu supaya memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan hidupnya. Pemberdayaan ini harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

Untuk memahami kompleksitas masalah yang dihadapi pekerja di Indonesia, kita bisa melihat dari tingginya angka pengangguran, persebaran tenaga kerja yang tidak merata, kekurangan tenaga terampil, dan besarnya jumlah tenaga kerja tidak terampil. Berbagai upaya telah dilakukan secara bertahap untuk mengurangi masalah-masalah ini demi mencapai perubahan yang lebih baik. Di sisi lain, perubahan terjadi karena pergeseran proporsi tenaga kerja sektoral. Hal ini disebabkan oleh penurunan sektor agraris sebagai sumber utama penciptaan kesempatan kerja di sektor pertanian. Sedangkan pertumbuhan kesempatan kerja di sektor industri meningkat. Akibatnya, terjadi perubahan dalam penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor.

Perubahan proporsi maraknya mudah ditemui, semisal secara sektoral menandakan terjadinya pergerakan pekerja di sektor yang kurang produktif seperti pertanian ke arah sektor yang lebih produktif, yaitu industri dan jasa. Maka, dari hasil tersebut akan menciptakan Output per-pekerjaan di sektor industri adalah lima kali dibandingkan sektor pertanian. Perubahan juga terjadi di bidang pendidikan pekerja, dengan adanya perbaikan pada tingkat pendidikan dasar (SD). Perbaikan ini tentunya memiliki korelasi kuat dengan tingkat upah.

Dengan adanya peningkatan pendidikan ini diharapkan dapat membawa perbaikan pada tingkat upah. Upah dan pendapatan pekerja juga mengalami peningkatan yang signifikan. Mengingat jumlah penawaran tenaga kerja yang jauh melebihi permintaan, pemerintah telah berupaya agar upah pekerja tidak turun ke tingkat yang sangat rendah.

Baca Juga:  Media Sosial: Pedang Bermata Dua bagi Masyarakat Indonesia

Salah satu kebijakan yang diambil adalah penetapan upah minimum pekerja, yang dirumuskan melalui forum Tripartit yang melibatkan perwakilan pemerintah atau Departemen Tenaga Kerja, perwakilan pengusaha, dan Perwakilan Tenaga Kerja atau Serikat Pekerja. Selain itu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja juga mengeluarkan kebijakan upah minimum regional (UMR) dengan tujuan untuk secara bertahap meningkatkan pendapatan pekerja, serta berfungsi sebagai jaring pengaman agar pekerja tidak menerima upah yang sangat rendah. UMR diharapkan berada di atas kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup minimum (KHM).

Oleh karna itu, dalam progres permasalahan seperti ini, bidikan yang kita lakukan adalah paradigma. Namun, tidak terlepas dari pikiran paradigma saja, melainkan teori yang digunakan meliputi seperti, bidikan teori paradigma Struktural Radikal. Yang mana dalam teori struktur radikal berfokus kepada perubahan, maksudnya ingin merubah dengan strukturnya. Di sisi lain yang difokuskan, yakni kebijakannya. Semua oknum akan diterjang mulai dari kalangan elite, menengah bahkan golongan bawah. Garis besarnya adalah munculnya paradigma ini dikarenakan ada program itu lahir lalu karna ada inti masalah yang menghasilkan program.

Konsep dasar produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input). Produktivitas tenaga kerja diukur sebagai rasio antara total nilai tambah dalam rupiah dan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor ekonomi tertentu. Produktivitas juga mencerminkan tingkat efisiensi dalam proses produksi, perubahan organisasi, atau sistem kerja lainnya. Produktivitas tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yakni pendidikan, pelatihan, fasilitas kerja, aspek psikologis, gizi, dan kesehatan pekerja. Oleh karena itu, upaya peningkatan produktivitas pekerja harus mempertimbangkan faktor-faktor kompleks tersebut. Selain rendahnya tingkat pendidikan, masalah pelik yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah ketidaksesuaian pendidikan atau “mismatch“. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang tidak memadai untuk menjawab tantangan dunia kerja. Ketidaksesuaian pendidikan ini ada dua jenis, yakni ketidaksesuaian menurut jenjang pendidikan, dan ketidaksesuaian menurut bidang pendidikan.

Baca Juga:  Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan Pengangguran di Indonesia

Data pengangguran terbuka menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi justru terdapat pada mereka yang berpendidikan perguruan tinggi, sementara tingkat pengangguran bagi mereka yang berpendidikan sekolah dasar relatif rendah. Umumnya, tingkat pendidikan dianggap sebagai indikator status sosial ekonomi seseorang. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula status sosial ekonominya. Tingginya angka pengangguran di kalangan berpendidikan tinggi disebabkan oleh status ekonomi yang relatif tinggi, yang memungkinkan mereka untuk tetap menganggur secara terbuka. Selama mereka belum menemukan pekerjaan yang sesuai, mereka akan tetap menganggur.

Tidak terlepas dari itu saja, masalah lain yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah rendahnya tingkat upah. Upah tenaga kerja di sektor industri di Indonesia merupakan yang terendah di negara-negara Asia Tenggara. Padahal, sebagian besar pekerja bekerja di sektor dengan upah rendah ini. Selama ini, upah pekerja dianggap sebagai bagian dari biaya produksi keseluruhan, yang sering kali ditekan semaksimal mungkin, sehingga upah pekerja tetap rendah. Rendahnya upah ini juga terkait dengan rendahnya keterampilan dan tingkat pendidikan formal pekerja, serta tingginya jumlah pencari kerja.

Maka dari itu, selain bidikan paradigma ada juga konsep teori yang bisa kita analisa, yakni teori Civil Society, Yang mana teori ini mengerucut kepada pemahaman demokrasi, demokrasi sendiri terbagi menjadi beberapa bagian di antaranya, pemilu, partai politik, HAM, lembaga pemerintah, otonomi daerah, media, lalu partisipasi audit. Maka, bidikan yang paling tepat dan cocok dalam pemahaman ini adalah diskursus demokrasi, yang mana mempunyai cabang anak di antaranya masyarakat politik (inti relasi kuasa), masyakarat ekonomi (keuntungan), masyakarat sipil (pemberdayaan). Masyarakat politik dan ekonomi nanti akan bertarung di ranah politik, sedangkan sipil lebih fokus terhadap pemberdayaan masyarakatnya.

Oleh: M. Komarudin Edy P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *