Asma Barlas

kesetaraan gender

Narasi Garda Pena – Pada zaman modern ini, banyak orang-orang yang sudah tersadarkan dengan isu kesetaraan gender. Setara bukanlah sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dipaparkan bahwa arti dari setara adalah sebanding, sepadan, dan seimbang. Hal ini patut dimengerti terlebih dahulu. Jika sama berarti serupa, maka ia berbeda dengan setara yang berarti seimbang. Orang-orang yang menyerukan isu gender, mereka menuntut sebuah kesetaraan ataupun kesepadanan, bukan sebuah kesamaan yang nantinya akan berujung pada sebuah kemiripan ataupun keserupaan. Isu kesetaraan gender ini tidak hanya banyak digaungkan oleh perempuan, namun laki-laki juga memberikan dukungan mereka terhadap isu ini. Salah satu upaya memperjuangkan isu ini adalah munculnya sebuah gerakan yang menyebut diri mereka sebagai aliran ‘feminisme’. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan mencapai kesetaraan gender.

Kata feminisme berasal dari bahasa Perancis. Gerakan feminisme banyak menyuarakan ideologi mereka di negara-negara Eropa serta Amerika, terutama negeri Paman Sam yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. Lalu bagaimana dengan negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia? Jika gerakan feminisme digaungkan dengan keras di Indonesia, mungkin ia masih menjadi hal yang tabu. Hal ini juga terkait dengan adat di Indonesia yang bisa dibilang menganut budaya patriarki. Lalu, bagaimana dengan Islam?

Islam dianggap sebagai agama yang tidak pro perempuan dan patriarki karena banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang dianggap merugikan perempuan. Padahal jika dipahami lebih saksama, Al-Qur`an merupakan sebuah kitab yang menjunjung tinggi kehormatan serta martabat perempuan. Contohnya adalah penafsiran Asma Barlas terhadap surah al-Nisā` ayat 1. Menurutnya, ayat tersebut merupakan kritik terhadap paham patriarki yang menganggap perempuan sebagai subordinat dari laki-laki.

Mengenal Asma Barlas

Asma Barlas merupakan seorang penulis dan akademisi Pakistan-Amerika. Pakistan, 10 Maret 1950 adalah tempat dan tanggal kelahirannya. Barlas memiliki seorang anak bernama Demir Mikail, hasil pernikahannya dengan Ulises Ali. Barlas menyayangkan kematian ayahnya yang bernama Iqbal, karena ayahnya tidak dapat menyaksikan terbitnya buku “Believing Woman” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of The Qur’an yang merupakan karya terkenalnya.

Barlas menempuh pendidikan strata satu bidang Sastra Inggris dan Filsafat di Universitas Pakistan. Kemudian, ia melanjutkan studi jurnalistik pada jenjang magisternya di Pakistan dan pendidikan doktoral dalam bidang studi internasional di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas Denver, Colorado. Saat ini, Barlas menjadi seorang profesor di Ithaca College, Amerika Serikat.

Asma Barlas memulai karirnya di tahun 1976 dengan menjabat sebagai diplomat Departemen Luar Negeri. Pada posisi ini juga Asma Barlas dipecat karena mengkritik kediktatoran presiden Pakistan waktu itu, yakni Jenderal Ziaul Haq. Kritikannya bertumpu pada sistem kepemimpinan, ia mengecam keras kepemimpinan pemerintahan Pakistan. Barlas kemudian bekerja sebagai asisten editor sebuah surat kabar oposisi The Muslim sebelum berangkat ke AS dan mendapatkan suaka politik. Barlas juga menerbitkan puisi dan cerita pendek saat di Pakistan.

Baca Juga:  Feeling Beautiful in Hijab yang Tergambar pada H. R. Rasuna Said

Sebagai seorang jurnalis dan penulis, Barlas memiliki banyak karya seperti puisi, cerpen, dan artikel. Tulisannya banyak memuat tentang Al-Qur`an dan hak-hak bagi muslimah. Di antara karya intelektual Barlas adalah Texts, Sex and States: A Critique of North African Discourse on Islam (2000), Believing Women in Islam: Unreading Patriarkhal Interpretation of the Quran (2002), The Antinomies of Feminism and Islam: The Limits of Marxist Analysis (2003), Women’s and Feminist Readings of the Quran (2006), The Pleasure of Our Texts: Re-reading the Quran (2006), Reviving Islamic Universalism (2006), dan Still Querreling Over the Quran: Five these on Interpretations and Authority (2007).Adapun karya lainnya yang berupa artikel adalah Muslim Women and Sexual Opression: Reading Liberation From the Quran (2001), A Reqiem for Voicelessness: Pakistanis and Muslims in the US (2004), Quranic Hermeneutics and Sexual politics (2005), Does the Quran Support Gender Equality? (2006).

Barlas memberikan pernyataan bahwasanya syariat Islam saat ini merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh ulama atau dewan yang semuanya beranggotakan laki-laki pada zaman Abbasiyyah (749-1258). Menurutnya, zaman Abbasiyyah merupakan zaman yang menekankan pemahaman seksisme (paham yang mengunggulkan laki-laki dari pada perempuan) dan misogini (paham yang membenci wanita). Barlas menginginkan adanya suatu reformasi syariat di masa sekarang sebab sifat penafsiran yang konservatif dan patriarki banyak ditemukan pada teks sekunder dalam Islam seperti tafsir, hadis, sunah, dan kitab-kitab fikih.

Barlas memberikan penekanan perlunya memahami teks suci secara perspektif yang menjunjung egalitarianisme (doktrin bahwa manusia ditakdirkan sama derajatnya). Terdapat dua hal lagi yang ditekankan oleh Barlas dalam memahami Al-Qur`an. Pertama, menentang pembacaan Al-Qur`an yang menindas perempuan. Kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran Al-Qur`an. Barlas berkeinginan melepaskan ajaran Islam dari citra negatif tentang perempuan akibat banyaknya bacaan yang memberikan posisi perempuan di masyarakat muslim terkesan minor. Barlas juga menggunakan pendekatan hermeneutika dan sejarah untuk menyingkap epistemologi anti patriarki yang dilakukan dengan mempertimbangkan tekstualitas Al-Qur`an dan watak kepaduan topik dalam teks Al-Qur`an melalui konteks pewahyuannya.

Baca Juga:  Jalaludin Rumi Dengan Wajah Politik: Membaca Surat-Surat Rumi

Karya terkenal Asma Barlas salah satunya berjudul “Believing Woman” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of The Qur’an. Terdapat beberapa poin yang disoroti oleh Barlas dalam buku ini, antara lain:

  1. Patriarkisme. Barlas berkali-kali menyatakan ketidaksetujuannya serta penolakan terhadap persoalan patriarkisme dengan pernyataan kepemimpinan ayah atau laki-laki. Seperti pada konsep tauhid, di mana banyak asumsi yang merepresentasikan gambaran Tuhan sebagai seorang laki-laki. Pada persoalan ini, Barlas mengupayakan desakralisasi terhadap asumsi representasi Tuhan sebagai seorang laki-laki atau bapak. Walaupun beberapa bagian Al-Qur`an terdapat ayat yang menggunakan ḍamir هو untuk merujuk pada Tuhan, hal ini bukan berarti kitab suci Al-Qur`an menganut paham patriarki. Menurut Barlas, penggunaan ḍamir هو untuk merepresentasikan Allah juga mencakup makna perempuan. Barlas menegaskan bahwa makna Tuhan dalam lafal-lafal tersebut bukan atas dasar gender, melainkan sebagai bentuk representasi untuk manusia dengan tujuan agar mudah dipahami.
  2. Gender dan seksualitas. Barlas menyoroti seksualitas dan gender dalam Islam, khususnya mengenai persamaan, perbedaan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada buku ini. Barlas mengakui adanya perbedaan gender secara fisik atau biologis berdasarkan ajaran Al-Qur`an, tetapi hal tersebut tidak ada hubungannya dengan etika dan moral masing-masing gender. Perihal kesetaraan, Barlas menggunakan makna nafs wāḥidah dalam surah al-Nisā` ayat 1 sebagai single self (jiwa yang tunggal). Penggunaan makna tersebut untuk menunjukkan bahwasanya laki-laki dan perempuan memiliki persamaan hingga pada aspek ontologi.
  3. Keluarga dan perkawinan. Barlas menuturkan bahwa sistem keluarga dan perkawinan yang diajarkan Al-Qur`an tidak pernah memuat unsur patriarkisme sedikitpun. Al-Qur`an sangat mendukung penuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Contohnya adalah dalam konsep nushūz. Lafal ḍaraba dalam surah al-Nisā` ayat 34 yang seringkali diartikan “memukul” menurut Barlas juga dapat bermakna lain seperti “memberikan contoh”. Makna tersebut jauh lebih relevan dengan ajaran Islam dan seksualitas yang ada pada Al-Qur`an bahwa sebuah keluarga harus didasarkan oleh cinta, saling memaafkan, harmonis, dan ketenangan.

Kesimpulan

Pemikiran Asma Barlas menjadi jawaban dari banyaknya tuduhan bahwa agama Islam dan Al-Qur`an bersifat patriarki dan tidak mendukung hak-hak perempuan. Barlas juga menjadi pelopor untuk menginspirasi banyak perempuan yang kurang mampu menguatkan pendapat mereka mengenai kesetaraan gender. Tidak hanya itu, pernyataan Barlas menjadi jawaban bagi orang-orang yang menganggap laki-laki harus di atas perempuan dengan dalil Al-Qur`an yang mereka bawa.

Oleh: Nesa Naila Ezza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *