Berguru kepada KH. Abdurrahman Wachid ; Bapak Pluralisme Indonesia
Oleh : Muthoharoh
“Pada hakikatnya, jika nilai-nilai luhur yang dibawakan Islam harus bertumpu pada kekuasaan negara, maka proses sekularisasi telah terjadi, karena institusi negara menjadi lebih kuat dari agama. Beragama Islam, yang artinya berserah diri kepada Allah adalah tujuan hidup yang luhur. Karenanya, haruslah dihindarkan agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara, tetapi menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat”.
Sekilas Geneologi dan Perjalanan Intelektual
KH. Abdurrahman Wachid lahir pada tanggal 4 September 1940 di Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholichah. Gus Dur, sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid merupakan seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan mantan presiden Indonesia ke-4 yang berpengaruh dan kontroversial. Gus Dur memiliki campuran darah biru, bangsawan dan priyayi. Ayahnya merupakan tokoh penting NU dan pahlawan Nasional sedangkan kakeknya adalah tokoh pendiri organisasi besar NU. Ayahnya juga seorang pendiri pondok pesantren besar di Denanyar, Tebuireng, Jombang.
Gus Dur pernah nyantri di empat pesantren salah satunya di Pondok pesantren Gontor dan melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Akan tetapi beliau kecewa atas pembelajaran di sana dan lebih memilih menyibukkan diri di perpustakaan sambil ngopi di warung-warung bersama teman-temannya untuk berdiskusi seputar masalah ekonomi, politik, pendidikan, bola dan lainnya. Dari hobinya yang gemar membaca, Gus Dur tertarik dengan salah satu karya Ali Abd al-Razik, seorang cendekiawan muslim kontroversial yang berjudul al-Islam wa Usul al-Ahkam (Islam and the Fundamentals of Governments) yang akhirnya mempengaruhi pemikiran Gus Dur tentang relasi antara Islam dan Negara.
Beliau lalu pindah ke Baghdad dan memompa nutrisi intelektual di sana. Beliau merupakan seorang penulis yang sangat produktif di majalah dan media massa seputar kajian keislaman, hukum, politik dan bidang lainnya. Beliau memiliki kecerdasan dalam memahami karya-karya Plato, Aristoteles, Karl Max, Max Weber lalu dikritisi dan dikolaborasi dengan pemikiran-pemikiran Islam. Atas dasar inilah beliau dianggap memiliki ide-ide yang kontroversial dan membutuhkan pemikiran yang dalam untuk memahaminya.
Persinggungan Gus Dur dengan berbagai tradisi mulai pesantren tradisional, nasionalisme dan sosialisme Arab, filsafat Timur dan Islam juga ilmu sosial barat telah banyak membentuk watak dan pemikirannya. Bermula dari kekayaan tradisi yang diembannya itulah yang menjadikan Gus Dur menjadi sosok yang sangat menghargai pluralisme sosial, agama dan budaya di kemudian hari. Beliau menjadi sosok yang sangat gigih dalam menggaungkan pluralisme melalui gerbong NU yang telah membesarkan namanya selama ini.
Relasi Agama dan Negara ; Multikulturalisme merupakan Sunnatullah
Gus Dur selalu menggaungkan perdamaian dan memiliki banyak dalih mengenai tidak mendukung adanya negara khilafah atau negara Islam. Gus Dur mengatakan bahwa pancasila tak selayaknya dipertentangkan. Sebab isi pancasila sudah selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Artinya, pancasila adalah bentuk pembumian ajaran Islam (pribumisasi Islam) dalam konteks keindonesiaan. Hakikat Islam adalah kesejahteraan serta keadilan pada manusia. Maka pendirian suatu negara sudah tentu bertujuan menyejahterakan rakyat.
Islam sendiri merupakan agama yang komplit dan universal. Gus Dur dalam gagasannya tidaklah sosok yang talk only, akan tetapi selalu membuktikan dalam action- nya. Gus Dur merupakan sosok yang egaliter dan terbuka. Beliau bebas bergaul dengan lintas suku, etnis, agama, ras dan golongan. Meski berlatar belakang santri dan keturunan priyayi, Gus Dur selalu tidak mendukung adanya pendirian negara Islam. Menurutnya Islam sendiri tak mengenal konsep negara yang jelas. Konsep kepemimpinan pasca wafatnya Nabi yaitu khalifah pun tidak menentu. Khalifah Abu Bakar dibaiat oleh para pemimpin suku, khalifah Umar ditunjuk berkat wasiat Abu Bakar, Usman ditunjuk dari dewan formatur yang dibentuk oleh Umar dan Umar digantikan oleh Ali.
Pasca era Ali, konsep pemerintahan berbentuk dinasti (kerajaan). Besar kecilnya ukuran negara juga tidak ditetapkan secara formal oleh Islam sebab Nabi meninggalkan Madinah tanpa bentuk yang jelas. Adanya ketidakjelasan konsep negara Islam tersebut membuat Gus Dur tidak setuju atas Islam khilafah. Sebab mendukung terhadap hal yang belum terkonsep secara jelas merupakan hal yang gegabah dan sembrono.
Pembentukan negara Islam juga bukanlah suatu kewajiban umat Islam. Kewajiban umat Islam adalah mendirikan negara yang menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran. Menurut Gus Dur, selama pemerintah sudah mampu menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran tidak perlu adanya bentuk formalisasi negara Islam. Gus Dur menolak negara Islam, karena menurutnya Allah memang menakdirkan negara yang penuh dengan keragaman, sehingga keragaman itu harus dipupuk dan dirawat bukan malah menjadi sumber masalah, demi menjaga negara Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks Indonesia, Islam bukanlah satu-satunya cara menyemaikan dan memajukan negara akan tetapi dapat menjadi salah satu elemen pendukung yang memberi warna pada keindonesiaan. Membenarkan Islam satu-satunya dari yang lainnya berarti telah membuat Islam menjadi ekslusif. Menurut Gus Dur, penerapan syariat agama tidak perlu dipaksakan dalam negara, sebab persoalan agama merupakan urusan privat dan kewajiban individu masing-masing dengan Tuhan.
Untuk menjadi muslim yang baik, seseorang tidak perlu ikut berjuang mendirikan negara Islam. Untuk menjadi muslim yang baik dan taat, tidak perlu ikut kekeh mendorong pendirian negara Islam, tetapi dapat menjalankan lima prinsip. Yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menolong orang yang membutuhkan, melaksanakan rukun Islam secara utuh, menegakkan profesionalisme dan sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Atas dasar itulah, Gus Dur selalu berani menentang arogansi kalangan Islam radikal. Sebab kelompok radikal adalah kelompok yang sangat anti pada pluralisme dan gagasan modern yang dianggap tidak islami.
Pluralisme Agama dan Islam Damai dalam Kacamata Gus Dur
Gus Dur dikenal sebagai sosok yang komplit dan kompeten. Beliau dikenal sebagai seorang ulama, aktivis, politikus, budayawan, intelektual, cendekiawan dan juga pengamat sepak bola. Hal tersebut tentu berasal dari kedalaman ilmu dan keteladanan yang beliau contohkan. Beliau dijuluki sebagai bapak pluralisme agama. Beliau dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemikiran moderat, inklusif, demokratis dan toleran.
Pluralisme, di mata Gus Dur merupakan sebuah pandangan tentang menerima atas berbagai keragaman ras, etnis, agama dan budaya. Pluralisme bukanlah suatu ide untuk menyamakan semua agama sebagaimana yang dituduhkan selama ini. Sebab semua agama tentu memiliki keunikan dan perbedaan masing-masing. Pluralisme menurut Gus Dur, seharusnya tidak menjadi sumber konflik akan tetapi menjadi poros terciptanya kedamaian, keharmonisan dan kehidupan bersama yang sejahtera. Pluralisme baginya adalah sunnatullah dan keniscayaan yang tak bisa dielakkan. Pluralisme merupakan sebuah desain Tuhan supaya manusia dapat saling mengenal dan belajar satu sama lain untuk saling menyempurnakan. Beliau menggunakan dalil QS. Al-Hujurat 13 tentang penciptaan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal.
Menurutnya Gus Dur, perintah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan pada Islam saja tetapi seluruh umat manusia. Sebab menurut Gus Dur, ajaran yang dibawa Islam itu bersifat menyeluruh, universal dan sempurna. Islam tentu telah menetapkan ajaran yang baik maka sudah sepatutnya perbedaan tidak dijadikan sebagai bencana tetapi sebagai sebuah anugerah dan kekuatan yang harus disyukuri untuk mencapai kesejahteraan. Dalam kehidupan berbangsa dan bersosial, sudah seharusnya semua masyarakat dan elemen turut bersama-sama dan menjunjung pancasila serta perbedaan demi tercetak kehidupan damai, indah dan sejahtera.
Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali
– KH Abdurrahman Wahid