Politik Agama: Diskriminasi Santri, Dampak Polarisasi Kolonialisme
Politik agama adalah kontruksi politik bertujuan melegitimasi kuasa dan kontrol sekelompok kepercayaan (agama) tertentu atas kelompok lain. Kontruksi tersebut sudah menghegemoni dalam masyarakat sehingga diterima tanpa kritik serta sejarahnya dilupakan. Wacana publik pada masa Reformasi tentang agama leluhur yang dikategorikan sebagai agama asli nusantara atau warisan leluhur dikontraskan dengan agama resmi negara yang dikategorikan sebagai agama pendatang atau impor. Peristiwa tersebut dilatar belakangi kebijakan pemerintah Belanda yang membedakan dan mempolarisasi masyarakat jajahan menjadi kelompok-kelompok dan kontestasi sosial dalam lingkup masyarakat sendiri yang merespon kebijakan Pemerintah Belanda. Dari akar masalah polarisasi Belanda, timbulah ketegangan pertentangan antara ‘Santri’ vs Abangan’. Santri menganggap abangan beraliansi dengan Belanda. Karena ditekannya santri, terutama dalam kegiatan perpolitikan, sedangkan abangan yang lebih leluasa dalam kegiatan-kegiatannya. Kebijakan ini sering disebut “Politik Belah Bambu”: Warga negara dibelah dan dibedakan. Kelompok pertama dikuatkan dan kelompok lain ditekan. Pertentangan-pertentangan tersebut berlanjut hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, termasuk masa konstitusi negara dirumuskan.
Pada masa persiapan kemerdekaan, khususnya dalam hal perumusan fondasi negara Indonesia Merdeka. Banyak kelompok ‘politik’ yang simplistik namun efektif yang keseluruhan seakan terbagi menjadi dua golongan: Santri dan Abangan. Aliran pertama, yang di sini diasosiasikan sebagai pemeluk Islam (diakomodir santri) mendukung adanya negara Islam. Sementara kelompok kedua adalah abangan yang bersikap netral terhadap agama. Mereka menghendaki pemisahan agama dari negara. Akhir dari perseteruan kelompok-kelompok yang memperjuangkan ideologi politiknya, Negara Islam vs Negara sekular, dijembatani oleh Soekarno dalam pidatonya (1 Juni 1945) yang mengusulkan sebuah kompromi sebagai titik tengah: Merdeka bukan negara Islam, bukan pula negara sekular, tetapi negara Pancasila. Pidato Soekarno tersebut diterima baik oleh para anggota yang berbeda pendapat. Kemudian membentuk kepanitiaan untuk menyusun asas dan tujuan Indonesia Merdeka, yang dari hasil kerjanya dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.
Pada pemerintahan Jepang, dibentuk badan yang disebut PPKI (7 Agustus 1945, sebagai pengganti BPUPKI pada masa Belanda). PPKI menyepakati Piagam Jakarta, namun dengan penghapusan frasa “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penghapusan tersebut dikarenakan adanya keberatan oleh kelompok non-Muslim dan mengancam tidak akan bergabung dengan NKRI. Mengetahui gagal memperjuangkan Piagam Jakarta dengan fondasi negara Islam, kelompok santri kembali mengajukan ‘pelayanan istimewa’ terhadap agama (yang dikategorikan sebagai agama, di sini tidak termasuk tradisi abangan dan kebatinan, yang dalam istilahnya disebut kepercayaan). Kelompok santri berhasil memasukkan ‘agama’ dalam konstitusi (pasal 29). Kelompok abangan, yang menyadari agama akan digunakan sebagai legitimasi kontrol negara, terpaksa mengusulkan ‘kepercayaan’, untuk dimasukkan dalam konstitusi, sekalipun hal tersebut tidak selaras dengan definisi agama seperti tuntutan kelompok agama (santri). Disinilah awal negara diinfiltrasi melalui politik agama. Agama adalah eksklusif untuk mengakomodasi aspirasi kelompok santri sekaligus sebagai alat kontrol (politik agama), sementara kepercayaan adalah alat berlindung bagi kelompok kepercayaan dari upaya kontrol kelompok santri.
Penghapusan Piagam Jakarta menuai protes dari kelompok santri. Mereka merasa dikhianati dan dirugikan. Sebagai gantinya, mereka menuntut kembali dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag: Terealisasi 3 Januari 1946). Pembentukan Depag tersebut dimaksudkan untuk memfasilitasi kepentingan umat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia. Atas nama mayoritas, perlakuan istimewa dianggap wajar dan bahkan diperlukan.
Setelah Depag dibentuk, segera Depag merumuskan UU pernikahan. guna menggantikan UU sebelumnya pada masa Belanda (disahkan pada 21 November 1946 Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang pecacatan nikah, talak dan rujuk). Disahkannya UU tersebut untuk menegaskan bahwa Depag adalah badan untuk melayani umat Islam. Pernikahan umat Islam wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama, Departemen Agama, bukan di Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 1 ayat 1 dan 2).
Kelompok selain Islam menilai, meskipun Piagam Jakarta ditolak (proyeksi negara Islam) dengan adanya Depag sejak awal merupakan benteng Islam dan pionir bagi negara Islam dan tetap saja posisi santri di negeri selalu istimewa. Adanya eksitensi Depag juga sebagai lanjutan dari pergulatan politik santri vs abangan. Selain itu, Depag juga digunakan kelompok santri untuk menekan dan bahkan melarang berbagai kegiatan keagamaan kelompok abangan. Dalam periode ini negara diinfiltrasi, politik agama dilembagakan.
Gejolak politik aliran terjadi pada 18 September 1948, PKI (diasosiasikan sebagai kelompok abangan) mendeklarasikan pemberontakan terhadap pemerintahan RI. Pemberontakan ini dilatar belakangi kembalinya Musso – pemimpin PKI tahun 1920 – ke Indonesia dari Rusia. Pemerintahan Soekarno merespon dengan dukungan kelompok Hizbullah. Konflik besar, kekerasan dan pembunuhan tak terhindarkan. PKI berhasil dihentikan dan Musso terbunuh. Selanjutnya pasukan militer menjalankan aksi Anti-PKI di seluruh Jawa sebagai bentuk respons atas kejadian di Madiun yang juga terjadi di banyak tempat. Pemberontakan PKI 1948 di Madiun adalah momen puncak perpecahan santri vs abangan, yang berdampak pada tersulutnya sikap antipati santri vs abangan yang dilanjutkan lewat kompetensi partai politik (Masyumi, NU, PNI, PKI). Pada awal 1950-an partai-partai bernafaskan Islam dengan konstituen santrinya, berlawanan langsung dengan PKI yang konstituennya mayoritas dari golongan abangan.
Di sisi lain terdapat kelompok kebatinan, kelompok kebatinan tidak memiliki catatan sejarah berafiliasi dengan PKI. Namun polarisasi politik aliran yang makin mengental sebab rangkaian peristiwa di atas, berdampak pada masyarakat yang cenderung dengan stigma: jika bukan santri (Islam), maka abangan yang disamakan dengan komunis, dan kelompok kebatinan, yang bukan kelompok santri, diasosiasikan sebagai abangan dan komunis. Kecenderungan dalam ini, berdampak pada diposisikannya kebatinan sebagai lawan Islam. Selain santri adalah ‘lawan’ yang semuanya dimasukkan dalam golongan abangan, dan diidentikkan dengan komunis, termasuk kebatinan.
Kelompok santri yang sejak awal menginfiltrasi negara lewat Depag menekan kelompok abangan, termasuk juga kelompok kebatinan. Misalnya tahun 1952, Depag mengajukan definisi agama mencakup tiga elemen: adanya Nabi, Kitab suci dan Pengakuan internasional. Usulan tersebut adalah upaya untuk menutup adanya peluang bagi “kepercayaan” kelompok abangan diakui sebagai agama. Meskipun mendapat penolakan dan tidak pernah dicatat dalam dokumen negara, namun efektif sebagai klasifikasi dan menentukan apa yang dapat dikategorikan sebagai agama dan siapa yang dapat dikategorikan sebagai kelompok non agama. Konflik pada masa ini mulai berubah. Agama dalam periode ini mulai dipertentangkan dengan ‘bukan agama’. Depag bertujuan untuk mendefinisikan kelompok warga negara beragama dan yang tidak atau belum beragama: Agama adalah yang sesuai dengan definisi yang diusulkan sedangkan kepercayaan adalah ‘bukan agama’, dan tidak dapat diperlakukan sama seperti agama. Peristiwa ini bertujuan, tidak wajibnya negara memberikan hak-hak khusus kepada yang ‘bukan agama’.