Peran Jurnalistik Menumbuhkan Semangat Berliterasi

Pertama kali mendengar kata “jurnalistik” tentu menjadi hal pertama yang dipersoalkan. Apa sih sebenarnya jurnalistik? Dari sisi mana jurnalistik itu menjadi menarik? Nah, kali ini saya akan mencoba melihat model literasi dari sudut pandang jurnalistik. Hal itu karena kekhawatiran sebagian besar orang terhadap krisis literasi ada pada “model pendidikan” yang tepat dijadikan sebagai metode menumbuhkan semangat berliterasi, apalagi bagi setiap instansi pendidikan baik formal maupun non-formal. Bahkan, sudah tidak menjadi asing jika krisis literasi akan selalu menjadi momok di tengah bangsa Indonesia.

Literasi sudah terlalu populer untuk lebih dalam dibahas. Kamu bisa membacanya secara luas di artikel-artikel pendidikan dan kebudayaan yang tercecer di google. Pada dasarnya, secara sederhana literasi merupakan kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, makna literasi meluas maknanya, seperti yang dikutip dalam Kompas bahwa literasi tidak hanya kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis saja. Setidaknya ada enam hal yang perlu dikuasai dalam bidang literasi, yakni  (1) literasi baca dan tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi finansial, (5) literasi digital, dan (6) literasi budaya. Cukup banyak bukan? Dan semuanya dijelaskan di dalam artikel yang dimuat Kompas.

Dalam hal ini saya tidak akan mengulas ulang apa yang tertulis di dalam artikel tersebut, akan tetapi sedikit memberikan respon terhadap apa yang saya ketahui mengenai literasi dan mengelaborasinya dengan konsep-konsep dasar jurnalistik. Menarik atau tidak, benar atau tidak, bukan menjadi tanggung jawab saya. Hak saya hanya mengemukakan ide serta gagasan agar dapat disaring oleh segenap pembaca yang lebih pandai berkomentar. Adapun gagasan atau ide yang lebih baik, saya yakin pembaca jauh lebih memilikinya. Alangkah baiknya turut menuliskannya.

Baiklah… Berbicara soal literasi yang serba mampu dan andal di berbagai bidang, nampaknya hanya menjadi horor semata. Padahal, yang diharapkan dari literasi sebenarnya ialah pengetahuan (ingat lho ya, pengetahuan) yang dimiliki oleh kita terhadap hal-hal yang berada di sekitar. Tidak harus sampai mendalami sampai jadi ahli. Misalnya saja, kita sebagai masyarakat pesantren harus tahu apa makna “pesantren”, sebagai masyarakat berlabel “mahasiswa” harus tahu peranannya, dan seterusnya di manapun dan kapanpun kita berada. Dengan apa kita mengetahuinya? Banyak cara sebenarnya. Kita bisa bertanya, berdiskusi, membaca buku, artikel, dan lain sebagainya. Itu hanya gambaran kecil proses berliterasi. Sekali lagi, semuanya dalam rangka memperluas pengetahuan.

Baca Juga:  Menyemai Kembali Wawasan Politik bagi Santri

Nah, bagaimana dengan jurnalistik? Pertanyaan yang sudah ada di awal tulisan ini akan saya coba bahas. “Jurnalistik” di dalam KBBI secara singkat hanya menyebutkan hal-hal yang menyangkut kewartawanan. Sedangkan “warta” sebagai kata dasarnya adalah berita. Berarti, secara garis besar “jurnalistik” mendapatkan pengertian proses yang dilaksanakan seseorang dalam pemberitaan. Sedangkan orang yang memberitakan disebut dengan jurnalis atau wartawan. Sudah tidak asing bukan dengan makna jurnalistik? Alhamdulillah.

Jurnalistik dilihat sebagai proses, akan menghasilkan tiga simpulan. Masih berkaitan dengan pemberitaan, simpulan itu yang akan menjadi tiga elemen dalam bidang jurnalistik (dilihat sebagai proses). Tiga elemen itu adalah (1) meliput, (2) menulis, dan (3) melaporkan. Ketiganya akan menjadi fungsi yang berbeda. Nah, fungsi tersebut akan saya sebut sebagai literasi, sedangkan prosesnya akan saya sebut sebagai jembatan mencapai fungsi. Jadi, proses yang diterapkan jurnalistik ini akan membantu mengakomodir literasi.

Pertama, meliput. Kegiatan meliput di bidang jurnalistik menjadi dasar utama bagi setiap jurnalis. Dalam mencari berita, jurnalis terlebih dahulu akan menggali informasi terkait kejadian atau peristiwa yang akan ia beritakan, bisa melalui wawancara, observasi, ataupun sekedar mengkaji literatur. Selain jurnalis dituntut memberitakan kebenaran, seorang jurnalis juga akan selalu berpikir kritis dan peka terhadap segala situasi yang dihadapinya. Tidak hanya itu, seorang jurnalis tidak akan sembrono dengan pemberitaan yang asumtif atau tidak berdasarkan data. Apalagi jika berita itu kategori tajam, setajam silet. Maksudnya berita hasil ngrumpi ibu-ibu yang biasanya membuat tetangga rumahnya jaga jarak.

Peliputan yang dimaksud di poin pertama bisa dimaknai sebagai proses seseorang agar aktif bergerak berliterasi. Bagaimana seseorang dapat mencari kebenaran berita dengan mencari data-data valid untuk kemudian disampaikan, menunjukkan adanya usaha agar seseorang khususnya pelajar aktif membaca. Sebagaimana sudah disinggung, membaca menjadi salah satu unsur literasi yang penting. Membaca juga tidak sebatas buku yang menjadi objek, lingkungan sekitar kita juga dapat dibaca melalui pengetahuan. Intinya, peliputan mewakili unsur literasi yang mencoba menerapkan cara pandang orang yang berpengetahuan dan kritis terhadap realitas lingkungan.

Kedua, menulis. Seorang wartawan juga harus cakap dalam menulis. Cakap disini berarti cepat merespon jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah dirangkai saat proses peliputan. Di samping para wartawan cakap, ia harus tanggap dengan intisari yang disebutkan lewat garis-garis peristiwa yang sedang ia gali informasinya. Proses menulis juga bukan hal mudah, bahkan bagi seorang wartawan. Kecuali, kebiasaanlah yang akan memengaruhi kecakapannya dalam menulis. Untuk terbiasa menulis, seorang wartawan biasanya diminta untuk menulis tiga 3-10 tulisan setiap harinya oleh media. Memang sudah menjadi pekerjaan, namun sekali lagi kita lihat prosesnya.

Baca Juga:  Warnai Ramadan, Suara Merdeka Adakan Gerakan Santri Menulis

Menulis adalah upaya kedua membangun literasi. Selain membaca, menulis adalah cara mempekerjakan otak bekerja lebih. Saat seseorang menulis, ada enam elemen tubuh yang bergerak; otak, mata, mulut, tangan, hati dan naluri turut mengekspresikannya. Jika seorang wartawan saja bisa terbiasa dengan menulis, seharusnya kita bisa, minimal dengan memaksakan diri dengan melawan malas yang menimpa. Tidak mudah memang jika dihadapkan hal yang memaksa. Namun, apakah tidak begitu yakin jika dulu saat kita bisa berjalan di waktu kecil, tidak juga kerena paksaan?

Ketiga, melaporkan. Banyak cara yang wartawan lakukan saat melaporkan beritanya, bisa melalui lisan ataupun tidak melalui lisan. Melalui lisan bisa dilihat di pemberitaan acara-acara yang ada di stasiun televisi, mereka biasa disebut reporter. Sedangkan tidak melalui lisan, banyak hal yang diekspresikan, yang pasti dengan tulisan. Tulisan-tulisan hasil dari peliputan dilaporkan melalui portal-portal pemberitaan, misalnya surat kabar, majalah, sosial media, maupun website. Hal tersebut menuntut tim redaksi dalam portal berita agar andal serta mahir dalam mengolah perusahaan beritanya. Seni digital sangat dibutuhkan di dunia jurnalistik dengan proses melaporkan berita kepada publik. Perusahaan berita juga memikirkan bagaimana caranya agar berita yang dihasilkan dapat tersampaikan kepada masyarakat luas. Percuma jika banyak tulisan yang bertajuk informasi tapi tidak tersampaikan informasinya.

Proses jurnalistik yang terakhir ini menunjukkan cara pandang secara komprehensif terhadap literasi. Apalagi kita yang hidup di era digital. Sudut pandang literasi tentang baca dan tulis belum dirasa cukup. Maka dari itu, mari kita gaungkan literasi dengan gerak positif yang dilahirkan dengan cara pandang proses serta peranan jurnalistik di era sekarang ini. Tidak banyak orang sadar akan sudut pandang yang lebih sederhana. Menurut saya, dengan mau mempelajari jurnalistik dan berani mempraktikannya, literasi akan mudah dicapai, di samping lingkungan pun harus turut andil dengan peranannya membentuk karakter orang di dalamnya.

Penulis: Taftazani Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *