Kebebasan Hak Asasi Bukan Cuma Milik LGBT

lgbt

Dewasa ini telah banyak orang, kelompok, instansi, atau bahkan negara yang gempar menyuarakan legalitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, dan Transgender). Istilah yang populer sejak tahun 1990-an ini mulanya disebut sebagai “komunitas gay”. Kemudian dipopulerkan kembali dengan istilah baru, yakni LGBTQ+ dengan tambahan “Q+” sebagai “queer” dan tanda “+” mewakiki identitas seksual lainnya.

Fenomena ini terjadi di berbagai negara Barat, bahkan negara Asia. Misalnya saja negara Kincir Angin atau Belanda mencantumkan salah satu pasal KUHP yang menunjukkan legalitas LGBTQ+ dengan pernyataan “huwelijk tussen personen van gelijk geslacht” atau “pernikahan dapat dilakukan oleh dua orang dengan orientasi seks yang berbeda atau sama”. Sama halnya negara Asia, ada di antaranya Hongkong, Thailand dan Singapura. Negara tersebut juga melegalkan para pelaku LGBTQ+ dari negara yang juga melegalkannya, sehingga mereka dapat beraktifitas layaknya masyarakat umum setempat.

Alasan beberapa negara melegalkan LGBTQ+ yakni menganggapnya bagian dari Hak Asasi yang perlu dihormati dan dilindungi. Proses pelegalan tersebut sampai diadakannya konvoi demi terwujudnya keinginan legalitas LGBT. Lalu, apakah benar jika LGBT dibenarkan sebagai hak asasi yang perlu dilindungi? Bagaimana perspektif hukum negara Indonesia maupun Islam?

Baca Juga: WAJAH DEMOKRASI NEGARA INDONESIA

Di dalam hukum Indonesia, LGBTQ+ merupakan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Hal ini tertera dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dijelaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Meskipun para anggota LGBTQ+ memiliki Hak Asasi, mereka juga memiliki kewajiban Asasi Manusia yang harus mereka penuhi.  Termaktub dalam pasal 29 ayat (1 dan 2), DUHAM yaitu,

  1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat statusnya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannyaa dengan bebas dan penuh.
  2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis .
Baca Juga:  Menyemai Kembali Wawasan Politik bagi Santri

Melihat permasalahan ini, Islam sesungguhnya sudah mengaturnya lebih dulu dengan menampilkan kisah Nabi Luth yang dapat kita ambil pelajaran pada QS. Al-A’raf ayat 80-81:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)” (Q.S al-A’raf: 80)

 إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُون

“Sungguh, kamu telah melampiakan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas” (Q.S al-A’raf 81)

Dalam kasus ini, Nabi Muhammad bersabda: Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” (HR Tirmidzi).

Dalam hal ini pelaku LGBTQ+ memang mendapatkan perlindungan atas Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi mereka tidak bisa sewenang-wenang menyalurkan kebebasannya tanpa melihat dampak dari sisi kesejahteran sosial, kesusilaan, serta kenyamanan masyarakat yang ada.

Kita hidup di masyarakat yang memiliki batasan norma-norma, baik norma agama juga norma kesusilan. Para pelaku LGBTQ+ tidak bisa seenaknya menyalurkan kebebasan mereka dengan mengatakan bahwa mereka punya hak asasi, karena hak bisa diambil apabila kewajiban sudah dipenuhi, sedang mereka juga punya kewjiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk meminta sebuah hak. Kewajiban asasi yang harus mereka penuhi dapat dilihat pada pasal 29 ayat 1 dan 2 DUHAM. Maka dari itu suara-suara yang mengatakan “LGBTQ+ harus dilindungi” perlu ditanyakan kembali, apakah mereka (pelaku LGBTQ+) sudah melaksanakan kewajibannya atau belum?!

Terlebih seharusnya, sebagai seorang muslim juga harus melaksanakan perintah Nabi Muhammmad dengan membunuh para pelaku keji itu, tetapi sebagai orang yang hidup di negara yang tidak menggunakan hukum Islam, kita tetap harus mengikuti undang-undang negara yang sah. Dengan demikian, apabila kita menjumpai para pelaku LGBTQ+ kita cukup memarahinya menggunakan mulut kita, dan apabila kita tidak mampu maka kita cukup inkar dalam hati.

Baca Juga:  Jelmaan Pers di Tubuh Mahasiswa

Oleh: Iqbal Ali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *