Atas Nama Santri
Kebebasan yang selama ini aku rindukan kini menjadi kenyataan. Setelah delapan tahun lamanya terkungkung dengan segala peraturan dan kekangan kini semua sirna seiring langkah kakiku yang pergi menjauh. Tak ada lagi omelan dari orang tua jika aku tidak ingin kembali ke pondok atau telat ketika pondok sudah aktif. Semua hanya menjadi kenangan yang cukup ku ingat. Sebuah senyuman kini tersungging tanpa beban di bibirku. Aku mengecup tangan ibu dan bapak lantaran akan berkelana menjelajahi dunia yang aku inginkan. Ibu menatapku dengan tatapan sendu, sulit ku artikan artinya. Mungkin, ia khawatir membiarkan putra pertamanya ini berkelana tanpa arah tujuan. Berbeda dengan bapak yang kini menatapku dengan tatapan tajam.
“Doakan, Syahrul buk semoga bisa mengangkat derajat keluarga kita” Ucapku menatap ibu yang kini matanya mulai meneteskan air mata. Jujur baru kali ini aku melihat secara langsung ibu menangis untukku. Bahkan Ketika dulu saat pertama kali mondokpun ibu tak menangis di depanku. Tapi kali ini, saat aku melakukan hal yang aku inginkan kenapa pula ibu menangis?.
“Syahrul akan baik-baik saja ibu, doakan saja” Ucapku memegang tangan ibu yang kasar.
“Le…” bapak menepuk pundakku. Aku menoleh.
“Jika kelak kau menjadi sukses, punya banyak uang, bapak dan ibu ndak butuh semua itu. Bapak dan ibu hanya minta satu hal padamu” Ucap bapak dengan serius.
“Apa, Pak?”
“Tegakkan iman di hatimu di manapun kamu berada, bawa iman itu sampai kamu mati!” Ucap bapak pelan tapi penuh dengan ketegasan. Aku merinding mendengarnya. Aku mengangguk dengan ragu. Hal yang sebenarnya terasa aneh, kenapa pula aku ragu. Bukankah iman memang harus ku bawa sampai mati. Tapi aku tahu di balik kalimat yang bapak ucapkan ada makna yang lebih.
Langkah kian tak menentu. Sebenarnya tanpa sepengetahuan ibu maupun bapak aku telah memiliki tempat yang ingin aku tuju, Yaitu sebuah rumah makan tempat kerja seorang teman yang aku kenal lewat dunia maya. Gajinya lumayan, aku akan ditempatkan sebagai asisten koki dengan bayaran tiga juta sebulan. Yang membuat aku lebih tertarik adalah gaji di bayarkan setiap dua minggu sekali. Apalagi untuk masalah tempat tinggal, para karyawan telah disediakan tempat tinggal yang tak jau dari tempat kerja.
Bus ketiga yang aku naiki kini berhenti tepat di depan masjid yang dekat dengan sebuah Universitas ternama negeri. Aku langkahkan kaki untuk memasuki masjid, meletakkan tas punggung besar di pojok belakang. Hamparan masjid tampak semakin luas karena sepinya jamaah. Seorang Bapak yang azan teryata juga seorang imam masjid.
“Silahkan mas, qomat!” Suruh bapak yang tadi azan. Aku gelagapan dan segera berdiri dari tempatku duduk.
“Saya Pak?” Tanyaku dengan bodoh.
“Iya, Mas..” Jawab bapak itu.
Aku melangkah mengambil mikrofon dan segera qomat. Masalah qomat bukan masalah besar bagiku. Pasalnya kalau aku liburan pondok bapak akan selalu menyuruhku azan, ketika tak ada yang azan di desa. Menurut bapak tempat salat entah itu musala ataupun masjid jangan sampai sepi. Di dalam masjid yang dibuat denan megah ini, hanya kami berempat yang melakukan salat jamaah. Hingga akhirpun tak ada yang datang menyusul.
“Pendatang ya, Mas?”
Aku tersentak mendengar suara bapak-bapak yang kini duduk di sampingku. Aku menoleh dengan sebuah senyuman. Bapak itu masih tersenyum seakan tak ada rasa cemas, takut dan beban dalam hidup.
“Jarang ada pemuda yang salat jama`ah, di kota ini” Ucapnya seakan memberi pujian padaku. Aku masih tersenyum.
“Biasa saja Pak.. ndak ada yang istimewa” Jawabku.
“Dari mana, Mas?”
“Jawa Tengah, Pak. Rumah saya pelosok”
“Banyak ulama yang lahir dari plosok, Mas” Jawabnya tanpa memandangku. Aku membisu mendengarnya. Entah kenapa tanggapan bapak ini menusuk hatiku, seakan mengetuk pintu kesadaran yang lama berkarat.
“Bapak asli, sini?” Tanyaku
“Saya asli kota ini, tapi rumah saya rada jauh mas, setengah jam dari sini”
“Jauh ya pak. Tapi bapak kok salat di sini?. Maaf sebelumnya, apa di lingkungan bapak tidak ada musala?” Tanyaku heran. Pasalnya untuk usia seperti bapak ini malas sekali jika harus pergi jauh hanya untuk jama’ah. Padahal jama’ah di rumah saja bisa. Aku saja, yang baru berusia dua puluh dua tahun kadang malas kalau disuruh jamaah sama bapak. Padahal musala ada di depan rumah.
“Ada, mas. Alhamdulillah di sana ramai yang jamaah.tapi di sini, sepi mas, apalagi untuk Dhuhur dan Asar imam masjid tidak bisa ngimami karena pekerjaan. Jadi, bapak kesini saat Dhuhur sampai Asar, baru setelah itu pulang. Kasihan, mas kalau sampai masjid sepi.”
Aku menunduk menatap lantai masjid yang terbuat dari marmer. Melihat kegigihan bapak ini aku ingat akan bapak di kampung. Bapak juga begitu, jangan sampai rumah Allah sepi.
“Saya ini santri mas, sudah menjadi kewajiban santri menularkan kebaikan, masnya juga santri?” Tanyanya yang kini menatapku.
Bibirku terasa kelu mendapatkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang harusnya sangat mudah aku jawab, iya aku santri, tapi santri yang di paksa oleh orang tuaku. Bapak itu menatapku dengan tatapan menyelidik. Ia mengalihkan pandangannya.
“Jika seorang santri tidak bangga dengan predikat yang ia bawa, maka jangan harap orang akan membanggakan gelar santri, karena santri sendiri tidak mengakui dirinya santri.” Ucap bapak itu menohok hatiku. Sambaran halilintar seakan kini telah menghanguskan jiwaku. Apa yang bisa aku katakana, semua ucapannya benar tak terbantah. Bapak itu memegang pundakku sambil menatap wajahku yang kini masih menunduk.
“Mas harus bangga jadi santri. Indonesia merdeka juga dengan aliran darah dan semangat santri, resolusi jihad, doa ulama, jangan lupa akan sejarah itu mas. Sekarang bangsa dan agama kita sangat membutuhkan santri yang tahu akan kesantrian yang harus ia tularkan kemanapun ia berada. Jika, santri saja tidak tahu akan kesantriannya lalu siapa yang akan mengemban dakwah Nabi selanjutnya?” Ucap bapak itu yang membuatku diam seribu Bahasa.
“Syahrul!” Panggil wajah yang sepertinya aku kenal.
“Maaf pak, saya harus pamit. Terima kasih atas nasihatnya” Ucapku langsung berdiri membopong tas. Aku tak bisa lama-lama berada di dekat bapak-bapak itu. setiap kali kata yang terucap dari bibirnya seakan menancapkan sebilah pisau yang menusuk-nusuk hatiku. Aku menghampiri Anto yang masih duduk anteng di atas sepeda motornya di depan masjid. Setelah salaman aku dan Anto melaju meninggalkan bapak itu yang termenung menatapaku penuh dengan harap.
Di kosan, aku hanya bisa diam berbaring sambil menonton televisi yang kini hampir semua chanel membahas tentang isu pelecehan agama. Tentang demo di mana-mana yang menuntut untuk memenjarakan orang yang telah menistakan agama. Entah kenapa saat ada pembahasan tentang agama aku selalu ingat tentang apa yang dikatakan bapak-bapak yang aku temui di masjid sana. Tentang jiwa seorang santri, tentang arti santri dan tentang peran santri. Semua kata itu selalu muncul seiring kalau aku ingat membaca al-Qur`an walaupun seminggu sekali. Wajah ramah dan penuh harapan itu masih ingat dengan jelas.
“ Lihatlah santri-santri itu, anarkis semua” Seloroh Anto yang kini duduk di sampingku.
“Jangan bilang begitu, Anto” Tegurku. Hatiku merasa lara kala ada yang menghina kata santri, entahlah padahal kata itu tak pernah menjadi kebanggaan dalam hidupku.
“Kamu tahu Syahrul, santri itu munafik! Sembunyi di balik kata agama, penerus ulama, tapi kelakuan bejat semua”, cetusnya.
Tanganku mengepal, aku masih menahan amarah. Hatiku kini sedang berperang, antara lara Anto menghina santri dan antara pantaskah aku membela nama yang tak pernah aku akui.
“Menurut orang-orang, santri itu baik lah, alim, dan nggak neko-neko. Tapi apa, semuanya sama, ndak ada bedanya dengan yang tidak pernah menyenyam pendidikan pesantren” Lanjutnya.
“Jaga ucapanmu Anto!” Tegurku setengah berteriak.
Anto kini memandang wajahku yang garis-garis otot tampak jelas di sana. Mataku yang mulai memerah menahan amarah. Anto mengernyit, tatapannya penuh dengan tanda tanya melihat aku menahan marah. Pasalnya Anto tak pernah melihatku marah seperti ini.
“Kenapa Rul?, kenapa kesal bukankah kamu bukan santri” Ucapnya yang membuat tanganku yang semula mengepal luruh begitu saja.
Dadaku terasa sesak mendengar pernyataan dari Anto. Aku akui aku tak pernah mengakui pada siapapun kalau aku ini santri, karena memang mondok bukan keinginanku melainkan orang tuaku. Tapi kata santri itu begitu membekas dalam hatiku. Delapan tahun aku dibesarkan dalam lingkup pesantren. Selama itu pula kata santri selalu aku dengar.
“Aku seorang santri Anto. Aku santri” Kutegaskan suaraku saat menyebut kata santri. Anto hanya menatap mataku yang kini tampak merah. Sebulir air jatuh dari sana. Tanganku menghapusnya tak ingin terlihat lemah.
“Santri harus kuat” Begitulah dawuh Kiai-ku dulu saat di pesantren.
Ruang tengah ini tampak sunyi. Hanya suara berita perdemoan yang berasal dari TV yang menguasai. Anto diam, begitupun dengan aku.
Semua nasihat bapak dan ibu di kampung, tentang cita bapak yang ingin aku menyebarkan kemanfatan untuk orang lain terlebih untuk agama merupakan cita-cita terbesar orang tuaku. Nasihat-nasihat bapak tentang bagaimana seorang santri itu harus memiliki cita-cita menyebarkan ilmu, juang untuk agama dan bangsa. Santri harus punya jiwa itu, agar generasi ulama dan darah juang pahlawan negeri tidak tumpah tersia-siakan. Nasihat bapak yang dulu aku temui di masjid kini juga memenuhi relung batinku. Aku akui, di kota ini aku hanya bekerja, tanpa menularkan sedikit ilmu yang aku peroleh dari pondok sama sekali. Bahkan untuk mengaji al-Qur`an pun terbilang jarang. Air mata menitik begitu saja. Bayangan tentang suasana pondok dan dawuh-dawuh Kiai yang menentramkan dada kini memenuhi setiap inci memoriku. Kesadaran mulai merabah dalam hatiku.
“ Ya Allah aku santri, aku santri” Rengeku pada sang pencipta.
Sebuah keputusan kini sudah bulat merasuk hati dan jiwaku. Pekerjaanku sebagai seorang asisten koki kini aku lepas. Pertemananku dengan Anto alhamdulillah baik-baik saja. Setelah kejadian itu Anto langsung meminta maaf padaku, begitupun sebaliknya. Tujuanku saat ini adalah melanjutkan Pendidikan di jenjang Sarjana. Aku tahu untuk bisa membanggakan nama santri di mata bangsa sendiri atau tidak aku membutuhkan ilmu yang lebih. Ilmuku serasa kurang untuk juangku membanggakan nama santri. Tekatku bulat, citaku jelas, akan aku kembalikan keharuman nama santri, akan aku jadikan sejarah pejuang santri kembali terulang dengan juang yang berbeda dalam zaman yang berbeda. Dengan gaji yang selama ini aku kumpulkan, aku gunakan untk mendaftar kuliah.
Maha Besar Allah, aku kini telah sah menjadi Mahasiswa di salah satu Universitas Islam ternama negeri. Kiprahku sebagai seorang Mahasiswa tak lagi dapat di ragukan di mata dosen maupun teman Mahasiswa. Hampir semua pelajaranku lahab, karena sebelum memulai pelajaran kupastikan dulu aku harus sudah membaca buku ataupun kitab yang membahas tentanngnya. Sebagai seorang santri, aku mulai mengajar di sebuah musala di gang perkotaan. Dan sebagai seorang anak yang tak ingin menyusahkan ke dua orang tua, aku masih mencari uang. Bukan bekerja di tempat orang, tapi dengan sebuah tulisan yang bermanfaat untuk orang lain dan untuk diriku sendiri.
“Ya. Allah aku adalah seorang santri, yang semoga Engkau mengumpulkan aku dengan santri-santri yang telah berjuang di jalanMu” Aku menengadah pada yang Maha Pencipta.