Politi-Gus
Sebuah debat persidangan besar-besaran akan segera dimulai di ruang debat yang luas. Para masyarakat, santri, hingga mahasiswa dari berbagai jurusan berkumpul untuk menyaksikan banding kasus yang sengit antara dua pihak: Tim Klaim Hak dan Tim Bela Hak.
“Tok..Tok..Tok.. terdakwa Angka Adi Sastra, alias Kiai Angka dinyatakan bersalah. Sidang di tutup”, dakwa Hakim.
Selang beberapa beberapa jam, Palu akhirnya diketuk, tanda persidangan telah ditutup, riuh penonton menyorakkan kekecewaan terhadap putusan hakim semakin membengkak. Kiai Angka tak kalah ibanya, bukan hanya mendekap di penjara selamanya, kini ia harus kehilangan istri beserta anaknya tercinta, toh untuk selamanya.
Kiai Angka mengelus dadanya yang dipenuhi rasa penyesalan. Dalam monolog batinnya ia berdoa, “Gusti, kulo nyuwun ngapuro.”
***
Sorak-sorai saksi dan para penonton menjerit kegirangan, gema tepuk tangan memenuhi seisi ruangan. Seakan disumpal taplak meja, mulut hakim bungkam dibuat tak berdaya. Advokat “Jalak harupat” itu kembali memenangkan debat membela korban terdakwanya, lihai sekali ia memuntahkan dakwa dari hakim, lalu menyulam kembali apa yang menjadi hak nasabahnya.
“Terima Kasih Gus Teguh, luar biasa gugatan-gugatan jenengan tadi. Ini terimalah sepeser dari saya”, ujar klien.
“Ohh, tidak terima kasih, uang tidak dapat memuaskan jiwa saya”, jawab Teguh sepele.
Menakjubkan, namanya terbisik dimana-mana, “Dia itu Advokat papan atas, jika ingin menang sewa saja dia”.
Sebut saja Gus Teguh, remaja ranum yang lahir di bawah ketiak keluarga yang agamis. Setelah beranjak dewasa, Teguh memilih pola hidup yang sedikit berbeda dengan keluarganya. Teguh memilih sebagai seorang advokat muda di dunia persidangan.
Dunia politik memang cocok bagi Teguh, ditambah pertarungan lidah yang sudah menjadi keahliannya, ―lidahnya memang tak bertulang tapi mampu meremuk tulang di hadapan pengadilan.― Teguh bisa saja menjadi jutawan, akan tetapi ia selalu menolak untuk dibayar, baginya menjerat orang dengan hanya seutas lidah adalah suatu kepuasan, lebih puas dibanding harus menerima lembaran kertas merah kebiru-biruan.
Di sisi lain ia harus menghadapi orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, yah, sang bapak, yang sama sekali tidak restu dengan pilihan Teguh.
“Hebat yah kamu sekarang, bahkan Romomu sendiri sudah bisa kamu bantah habis-habisan. Puas kamu iyah?!!, mengasah otakmu di berbagai musyawarah pondok, membuatnya tajam, kritis, lalu memanfaatkannya di dunia persengketaan!!”
“Justru seharusnya romo bersyukur…”, Teguh membela dan sedikit menunduk.
“Apaa?!!, apa kamu bilang?, Romo sengaja mengasuhmu di pesantren agar kamu dapat berpikir ke depan tentang agama ini. Bukan masuk ke ranah kotor seperti itu. Romo akui kamu ini cerdas bukan main, Gus. Tapi tidak untuk urusan membenarkan yang salah”.
“Anakmu ini bukan seperti yang jenengan pikir, Romo, Teguh tidak seburuk advokat di luar sana, hanya karena Romo terpengaruh oleh pengacara-pengacara kotor itu, lalu Romo seenaknya mengatakan dunia persidangan itu kotor.”
Dengan buru-buru, Romo segera membuka sabuk pinggang dan kembali mengancam.
“Opo..?, ngomong no maneh!!, eeeehh.. tak pecut raimu sisan, Sudah sana, kembali ke kamarmu”, geram Romo.
Teguh sudah tak sempat lagi membela diri. Sambil berjalan ke kamar, Teguh untuk sementara mengurung raganya, begitu juga niatnya.