Membiarkan Belum Tentu Melupakan
Akhir bulan Juli telah usai, dan kini bulan Agustus tampil dengan berbagai peristiwa yang sulit dilupakan oleh Bangsa Indonesia. Bendera merah putih tampak berjajar rapi layaknya barisan tentara yang berjaga-jaga demi mempertahankan negaranya. Di dusun Sukakamu, tidak ada satu pun warga yang tidak menampilkan kain berwarna merah dan putih di depan rumah mereka, semua kompak menyambut peringatan hari di mana bangsa ini merdeka.
Tanpa perlu diperintah, penduduk Sukakamu telah terbiasa mengibarkan bendera merah-putih di depan rumah mereka setiap bulan Agustus. Kebanyakan bendera berkibar pada bambu yang dimodifikasi menjadi tiang bendera atau pada paralon air bekas. Ketika hari kemerdekaan tiba, Pegawai Negeri Sipil dan lainnya melaksanakan upacara bendera di lapangan kecamatan. Sementara itu, para petani memilih untuk tetap bekerja, menunjukkan semangat tak kenal lelah dalam mencari rezeki, meskipun mereka tetap memahami pentingnya peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Di Dusun Sukakamu, ada tradisi nyadran yang pelaksanaannya bertepatan setelah perayaan hari kemerdekaan. Tradisi ini dikenal luas di kalangan warga. Seiring hari nyadran mendekat, obrolan tentang tradisi ini pun semakin ramai. Pak Yakin dan Pak Mulia, misalnya, terlibat dalam percakapan santai di warung kopi.
“Hai Pak Mulia, bagaimana kabarnya?” sapa Pak Yakin.
“Alhamdulillah, kemarin saya baru saja memanen padi. Lumayan, hasilnya bisa untuk membeli gendul,” jawab Pak Mulia, menyiratkan kegiatan mabuk-mabukan.
“Wah, mantap. Katanya besok akan ada tradisi nyadran, leres to Pak?” tanya Pak Yakin.
“Pasti, rasanya tidak lengkap tanpa nyadran setahun sekali,” jawab Pak Mulia.
“Bagus sekali. Kali ini akan ada gendule mboten Pak? Tanpa itu, tarian kita kehilangan ciri khasnya, hehe” sahut Pak Yakin.
“Tenang saja, yang suka gendul juga banyak,” jawab Pak Mulia, disambut tawa mereka berdua.
“Minum gendul lebih seru kalau ramai-ramai,” tambah Pak Yakin, dan mereka tertawa sambil memikirkan pesta yang akan datang.
Tradisi nyadran adalah wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan dan telah berlangsung selama beberapa generasi. Meskipun terkadang ada warga yang terlibat dalam pesta per-gendulan yang berujung pada percekcokan, tradisi ini tetap bertahan. Para pedagang pun turut serta dalam perayaan ini dengan menjajakan dagangan mereka untuk melanjutkan kehidupan sehari-hari. Sebelum hari pelaksanaan tradisi nyadran, warga dusun Sukakamu menggelar acara kenduren pada sore hari. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa acara nyadran esok hari dapat berjalan dengan lancar. Kegiatan kenduren ini diikuti oleh seluruh warga dusun di Punden, tempat yang teduh berkat pohon-pohon besar yang menaunginya.
Kiai Solikhin memimpin pembacaan tahlil, diawali dengan tawasulan yang ditujukan kepada para leluhur yang telah meninggal. Warga dusun berkumpul membentuk lingkaran di pinggir Punden, mengikuti kenduren dengan khidmat sebelum memulai tradisi nyadran.
Setelah tahlil, warga dusun berbagi makanan yang dibawa dari rumah untuk dimakan bersama. Acara kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan tarian yang diisi oleh penari dari luar daerah. Pejabat daerah juga diundang untuk merayakan bersama, dan tidak lama kemudian, semua warga dusun bergabung dalam tarian yang diiringi musik campursari. Badan warga dusun nampaknya tersihir untuk menari bersama para penari. Tangan mereka terangkat ke atas dan ke bawah disertai lenggokan-lenggokan badan. Tidak mau kalah dengan warga dusun, akhirnya para pejabat ini juga turut ikutan berjogetan bahagia bersama penari. Selain menari, mereka juga tidak lupa untuk memberikan uang kepada para penari yang telah menemani menari.
Pak Mulia dan Pak Yakin, seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, menyaksikan aroma gendul yang mulai menyebar di antara warga. Gelas berisi gendul berpindah dari tangan ke tangan, menambah semarak ekspresi tarian mereka. Meskipun ada yang hampir kehilangan kesadaran karena terlalu banyak minum hinggu menimbulkan konflik, tradisi nyadran berakhir dengan sukses dan aman.
Namun, tidak semua warga merasa senang dengan penyelenggaraan tradisi nyadran yang berlangsung. Beberapa tokoh masyarakat alumni pesantren, seperti Pak Ali, merasa bahwa tradisi yang seharusnya menjadi wujud syukur kepada Tuhan, malah berubah menjadi perayaan gendul. Sebagai tokoh masyarakat alumni pesantren, Pak Ali dan rekan-rekannya mengadakan rundingan untuk membahas masalah pesta per-gendulan yang menyimpang dari tujuan awal tradisi nyadran. Pada malam Jum’at, mereka melaksanakan tahlilan dan mengajak warga lain untuk berdiskusi tentang masa depan tradisi nyadran.
“Bapak-bapak, apakah sekarang tradisi nyadran yang awalnya sebagai wujud rasa syukur warga kampung, justru menjadi rasa wujud pesta per-gendulan warga kampung?,” tanya Pak Ali sembari menyulutkan bara api.
“Iyaloh, masa dari para pejabat juga tidak menjadi contoh yang baik bagi warga, ikutan pesta gendul, hemm geram aku dengan mereka,” sahut Pak Karimun, yang terlihat agak kesal dengan perilaku para pejabat setempat.
“Kalau begitu berarti ini mesti ada perubahan, terkait masalah tradisi nyadran ini, akan tetapi kita tidak perlu membubarkan mereka, soalnya kalau dibubarkan pastinya mereka akan marah dan justru tidak suka kepada kita, alhasil mereka pun tidak akan melirik kegiatan keagamaan yang kita jalani,” sahut Pak Ali.
“Hemmmmm, bagaiimana ya, sebenarnya sih pengennya justru pesta per-gendulan itu yang kita hilangkan, soalnya sebagai praktik dari nayi munkar, namun jika dihilangkan, pasti benar apa yang dikatakan Pak Ali tadi, mereka akan memusuhi kita,” ujar Pak Naim.
“Terkait nahy munkar, kan itu ada tiga tingkatan pak, kalau kita kuat ya pakai fisik kita, kalau nggak kuat bisa pakai omongan kita dan kalau tidak kuat lagi terpaksalah kita harus mengingkarinya lewat hati, nah oleh karena itu kita nahy munkar-nya, cukup dengan hati kita saja dan ada sedikit nantinya lewat omongan-omongan namun ya tidak secara langsung, tapi lewat kita mengadakan kegiatan keagamaan seperti pengajian atau gimana gitu,” sahut Pak Ali.
Pak Muttakin akhirnya angkat bicara, “Kalau emang begitu ya sudah kita lakukan saja apa yang dikatakan Pak Ali tadi, yakni nahy munkar lewat hati saja. Lalu Pak Ali? Masa kita tidak melakukan tindakan sedikit pun untuk mewujudkan tujuan awal tradisi nyadran ini, kan katanya tadi mesti ada perubahan.”
“Saya sendiri sih pengennya tradisi nyadran yang intinya sebagai rasa wujud syukur, kita adakan perubahan dengan membuat acara syukuran di Masjid saja, dengan mengajak seluruh warga dusun untuk berdo’a bersama sembari juga mereka kita suruh untuk membawa ambengan dari rumahnya masing-masing,” ujar Pak Ali.
“Terus nanti apakah mereka yang biasanya ikut per-gendulan itu senang dengan acara yang kita adakan ini,” tanya Pak Muttakin.
“Masalah senang atau tidak senangnya mereka itu kita pikirkan akhir saja, yang penting kita tidak ada niatan mengganggu mereka, cuma kita ingin meluruskan saja tujuan awal tradisi nyadran ini,”, jawab Pak Ali.
“Setuju aku kalau begitu, selain kita mengurangi rasa kebencian antar warga kampung, kita juga bisa menjadikan kegiatan ini sebagai praktik amar ma’ruf sekaligus nayi munkar,” sahut Pak Naim.
“Oke makasih buat perstujuannya Pak Naim, kalau bapak-bapak yang lain gimana ini, dengan pendapat saya tadi?” tanya Pak Ali.
“Iya-iya bagus itu, kalau begitu mulai tahun depan kita mengadakan sendiri ya, tradisi nyadran ini di Masjid dan nanti pelaksanaannya sebelum satu hari dimulainya tradisi nyadran ini digelar di Punden, juga sembari kita berdo’a untuk mereka yang di Punden supaya cepat diberi hidayah oleh Tuhan Yang Maha Esa,” jawab Pak Muttakin sembari mewakili tanggapan dari bapak-bapak lainnya.
“Tanggapan yang bagus itu pak, ya sudah ini berarti kita semua sepakat ya untuk memulai tradisi nyadran nyadi Masjid pada tahun depan?” sahut Pak Ali.
“Iya pak langsung gas aja tahun depan, soalnya sudah jengkel saya dengan perilaku mereka,” ujar Pak Karimun yang dari tadi tampak geram dengan perilaku warga dusun khususnya juga kepada pejabat setempat.
“Baiklah terima kasih atas patisipasi kalian semua, saya menjadi agak lega dengan hasil rundingan kita malam ini. Marilah kita akhiri acara tahlilan dan pertemuan ini dengan bacaan hamdalah, alhamdulillah hi rabbil’alamin, wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,” sahut Pak Ali sekaligus menutup acara pada malam hari itu.
Ketika tahun berikutnya tiba, tradisi nyadran benar-benar diadakan di masjid, sehari sebelum acara di Punden. Setelah salat Isya, warga dusun yang berkomitmen pada keagamaan mereka berkumpul di masjid untuk mengikuti nyadran sebagai ekspresi syukur kepada Tuhan. Bapak Ali, sebagai Ta’mir Masjid, membuka acara dengan sambutan yang mengingatkan semua orang tentang pentingnya niat baik dan rasa syukur.
“Alhamdulillah, kami sampaikan terima kasih kepada warga dusun yang telah hadir dalam tradisi nyadran ini, walaupun acaranya sederhana, namun tetaplah yakin jika kita semua ini memiliki niat yang baik untuk mewujudkan rasa syukur kita atas nikmat yang diberikan Tuhan, semoga apa yang kita laksanakan ini bisa membuat Tuhan senang dan bisa membuat kita lebih semangat lagi dalam beribadah,”
Acara berlangsung lancar dan mendapat sambutan hangat dari sebagian warga dusun. Meskipun ada yang memilih untuk tetap mengikuti tradisi nyadran di Punden, banyak yang merasa puas dengan perayaan yang lebih sederhana dan berfokus pada spiritualitas di masjid.
Epilog
Cerita ini menutup dengan refleksi tentang perubahan tradisi dan bagaimana komunitas menyesuaikan diri dengan cara baru dalam merayakan dan menghormati nilai-nilai mereka.