Catatan dari Penjara
Tangannya masih sibuk membalik lembar-lembar kertas tulisan tangan Abah. Tulisan itu terlihat rapi dan indah terbalut butiran kata yang mengalun menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Beberapa buku Abah tentang tema humanisme, politik, toleransi beragama dan cerita tentang perjuangan Abah di penjara telah ramai dibaca oleh beberapa kalangan. Sedangkan buku yang saat ini berada ditangannya adalah tulisan Abah sebelum diterbitkan. Achra mengusap air matanya yang jatuh Ketika membaca kisah Abah dalam penjara, satu kata yang akan selalu diingatnya
“Ketika perjuanganku dibatasi oleh jeruji besi, biarlah catatan-catatan kecil ini akan melanjutkan hingga nafas terakhir”. Achra mulai menatap ke arah langit.
Malam menggambarkan kegelapan dalam alam. Kesuraman, namun juga terdapat keindahan yang menghiasinya. Bintang-bintang di langit tampak berkedip seakan menemani hati yang lara tiada obat. Bertahun-tahun ia menunggu dan merasa lara akan keadaan yang selalu sama tiada perubahan. Matanya mengerjap menitikkan sebulir air mata penuh harapan. Hanya untuk sebuah nama yang ingin ia hilangkan noda jijik yang melekat. Memorinya menerawang jauh ke depan saat usia remaja yang harusnya Ia habiskan penuh dengan canda dan tawa. Ia ingat momen itu, momen yang merubah segala hidup keluarganya. Momen yang seakan menancapkan sebilah belati derita yang tak bisa dicabut hingga kini. Air matanya kembali membasahi pipinya yang putih kemerah-merahan.
“Abah, Achra merindukanmu” Rintihnya membasuh air mata dari pipinya.
Pita kenangan seakan-akan menari di pelupuk matanya. Luka yang selama ini Ia kubur di kedalaman sumur derita, kini mencuat tanpa sebab. Membawa beban lara yang harusnya bisa Ia ikhlaskan tiada dendam. Tapi begitulah, ikhlas tak semudah menghapus noda pada lantai. Seringkali saat ia menghadap langit malam yang dipenuhi gemerlap bintang, yang bertemankan sinar rembulan membawanya hanyut dalam kenangan lama. Kenangan itu mulai memenuhi semua kesadaran jiwanya. Ia ingat dan tak pernah lupa, sedetikpun. Sekecilpun.
Chaira Ahmad, biasa dipanggil neng Achra, anak kedua sekaligus anak bungsu dari pasangan bahagia KH. Ahmad Syakrani dan Nyai Aisyah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul `Ilmy. Pesantren yang terletak di salah satu kota besar negeri. KH. Ahmad atau biasa dipanggil Abah Ahmad sebenarnya berasal dari desa, yang akhirnya merantau guna menyebarkan ajaran Islam yang saat itu masih minim di kota yang saat ini ditempati. Kehidupan abah Ahmad sekeluarga harmonis dan bahagia. Syahrul Kahfi Ahmad putra pertama Abah Ahmad yang kini berusia 19 tahun sedang menempuh pendidikan di pesantren ternama Jawa Tengah. Sedangkan Achra yang kini berusia 15 tahun masih enggan untuk meninggalkan rumah yang membuatnya nyaman. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Aliyah yang didirikan oleh Abahnya. Alasannya cukup klise, Achra tak bisa jauh- jauh dari orang tuanya, terutama Abah yang senantiasa memberinya petuah-petuah bijak tentang kehidupan. Achra masih ingat sosok Abah yang suka duduk di kursi teras depan rumah setelah selesai mengajar santri. Di sampingnya terdapat kitab Ihya` `Ulumuddin, buku, secangkir kopi hitam dan singkong rebus yang diletakkan di meja dekat Abah. Pernah sekali Achra bertanya tentang kebiasaan Abah tersebut.
“Achra, cobalah belajar pada alam, lihatlah betapa gelap malam itu, tapi Allah ciptakan bintang sebagai teman sekaligus hiasan untuk langit hingga langit terdapat cahaya. Lihatlah bulan itu yang menyinari bumi kala tiada terang sama sekali, mereka terlihat begitu indah dan saling melengkapi. Namun beberapa jam kemudian semua lenyap digantikan dengan matahari yang menyinari secara terang benderang, awan terlihat putih berseri, langit gelap saat malam tiada lagi, tergantikan dengan langit yang berwarna biru kemilau.”
“Achra, bingung maksud Abah,”
“Matahari itu layaknya kebahagian dalam hidup, semua gelap tercerahkan dengan tawa-tawa bahagia, tapi mereka lupa kalau siang takkan selamanya, akan ada malam di mana matahari itu akan tertelan. Saat itu seakan orang akan lupa tawa yang pernah menghiasi wajah mereka, mereka lupa akan nikmat-nikmat yang Allah berikan, mereka menganggap malam hanya sebuah kegelapan. Padahal lihatlah, ada bulan, bintang yang memperindah malam dan menyinari malam, ketika seseorang bisa menerima kegelapan atau ujian yang Allah berikan dengan lapang dada mereka akan mampu melihat bulan dan bintang itu. Kan ada cahaya yang menyinari gelapnya hati.”
Achra mengangguk sambil terseyum tak faham maksud Abahnya. Tapi hanya satu yang ia mengerti setelah tawa kan ada derita begitupun sebaliknya. Achra menatap Abahnya yang memakai kopyah hitam, koko putih berselaraskan dengan sarung hijau tua. Wajah abahnya terlihat damai setelah mengungkapkan apa yang dimaksud hatinya. Achra menunduk tanpa sebab. Ia tahu Abah belajar makna hidup dari Alam.
“Achra adalah mentari untuk Abah, untuk bisa menjadi mentari Achra harus selalu menambah wawasan, dengan cara banyak membaca atau menulis dan belajar dari alam”Jawab Abah Ahmad dengan sebuah senyuman.
Ruangan berbentuk kubus berukuran sekitar 6-7 meter. Bercat putih bersih. Ada sebuah kaca berukuran 100 cm terpajang di dinding dekat pintu. Baju, sarung dan kerudung tampak memenuhi langit-langit pojok atas kamar. Digantung rapi dengan tempat masing-masing. Dua orang santriwati tampak tertidur lelap setelah sekolah selama enam jam dengan istirahat hanya setengah jam. Sebagai siswi yang baru menginjak bangku Aliyah Achra merasa capek dengan mata pelajaran yang semakin sulit diterima otak dan jam belajar yang bertambah.
Achra menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar santriwati yang selalu berangkat sekolah bersamanya itu. Achra tampak asik membaca buku tentang hukum Indonesia yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Perlu diketahui Achra sangat menggemari buku, itu tak luput dari Abah yang selalu mengajaknya ke perpustakaan setiap minggu. Terlebih mengenai buku tata hukum negara. Hal ini bukan tanpa sebab, Abah Ahmad merupakan dewan dari salah satu partai Islam di negeri. Kecintaan pada Indonesia membuat Abah Ahmad menularkan semangat perjuangan guna memajukan Indonesia.
“Neng, ndalem loh ada tamu” ucap salah satu santriwati yang duduk sebangku dengannya saat di sekolah.
“Berarti tamunya sudah datang.” Gumamnya lantas berdiri meninggalkan Ayin temannya yang kini menatapnya dengan heran.