Sinergitas Potensi Perempuan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Term Islam Kontemporer
Selanjutnya dalam surat al-Ahzab ayat 35, Allah menyebutkan, “Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.” Ayat ini menunjukkan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Jika dikaitkan dengan tema kepemimpinan, Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin baik dengan sesama perempuan maupun memimpin laki-laki dalam konteks publik. Islam memberikan hak kepada perempuan yang kompeten di bidangnya untuk berkembang sehingga dapat memberikan manfaat bagi lingkungannya. Tentu saja, hal ini harus dilakukan setelah menyelesaikan tanggung jawab domestik sebagai seorang istri bagi suami, dan ibu bagi anaknya (Shihab, 2022:47).
Terakhir, menurut Badan Pusat Statistik dalam sensus penduduk Indonesia terbaru tahun 2022, jumlah penduduk Indonesia adalah 275 juta jiwa. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak yaitu 139 juta jiwa, sedangkan jumlah perempuan adalah 136 juta jiwa. Namun demikian, usia produktif perempuan Indonesia memiliki persentase lebih tinggi daripada laki-laki (Kusnandar, 2023, “Piramida Penduduk Indonesia 2022”). Hasil survei ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia lebih produktif daripada laki-laki Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam pemberdayaan masyarakat harus diperhitungkan secara optimal. Salah satu caranya adalah dengan melakukan kegiatan pemberdayaan perempuan dan juga gerakan-gerakan feminisme.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa gerakan feminisme sering mengalami penyimpangan dalam definisinya. Secara historis, feminisme adalah gerakan emansipasi wanita berdasarkan kemanusiaannya, bukan kesetaraan gendernya. Jika feminisme hanya berorientasi pada kesetaraan gender secara absolut, maka hal itu justru akan merugikan perempuan sendiri. Misalnya, ketika hak cuti kerja pegawai laki-laki dan perempuan disamakan. Apakah seorang perempuan yang baru melahirkan bisa langsung bekerja seperti biasa? Lebih parah lagi, jika feminisme radikal ingin menghapus patriarki secara total, maka di masa depan akan muncul gerakan-gerakan kontroversial yang melegalkan hal-hal seperti gerakan free children, aborsi massal, lesbianisme, bahkan penolakan pernikahan (Faizain, 2007: 8).
Hemat penulis, gerakan feminisme saat ini hendaknya merefleksikan sejarah perjuangannya. Dunia telah memberikan ruang dan hak kepada perempuan berdasarkan kemanusiaannya. Perempuan bisa menyampaikan pendapat dan keahliannya sehingga bisa menduduki posisi dan mengoptimalkan potensi sesuai kemampuannya. Karena keterampilan kepemimpinan dapat dimiliki oleh siapa saja tanpa membedakan gender. Namun dampak dari keterampilan atau otoritas kepemimpinan tersebut, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jika otoritas tersebut berada dalam komunitas sesama gender, maka gunakanlah dengan amanah, arif, dan bijaksana. Dan jika berada dalam komunitas lintas gender, maka jangan lupakan etika dan moral agama. Dengan demikian, gerakan feminisme dapat diimplementasikan dalam masyarakat Islam kontemporer.


