Kelompok Non Muslim yang Berstatus Nomor Dua, Begini Tanggapan Halaqoh Fikih Peradaban Nahdlatul Ulama

Sarang, Narasi Garda Pena – Kelompok non muslim yang berstatus nomor dua menjadi salah satu pembahasan dalam Halaqah Fikih Peradaban Nahdlatul Ulama “Fikih Siyasah dan Kewarganegaraan” dengan tema Status Kewarganegaraan Non Muslim dalam Tinjauan Fikih (Upaya Kontekstualisasi Konsep Kewarganegaraan dalam Tata Negara Modern) yang dilaksanakan di halaman pondok pesantren Al Anwar 3, Sarang-Rembang, pada Rabu (16/11). Acara tersebut dibuka pada pukul 09:30 pagi sampai dengan 15:30. Peserta halaqah dihadiri para kiai dari berbagai daerah. Beberapa kali terjadi perdebatan antara peserta halaqah menunjukkan bentuk kepedulian terhadap realita umat sekarang.

Acara halaqah tersebut dibuka oleh Master of Ceremony (MC), lalu dilanjut pembacaan ayat suci Al Quran oleh Thoriq, kemudian sambutan dari tuan rumah, KH Abdul Ghafur Maimoen, sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar 3, lalu diambil alih oleh moderator yang menjelaskan acara tersebut terbagi menjadi dua sesi yang dipisah dengan Istirahat, Shalat, dan Makan (Isoma), sesi pertama dimulai pukul 09:30-01:00 Wib , lalu sesi ke dua dimulai pukul 01:30-04:00 Wib, dilanjutkan Moderator mempersilahkan dua pemateri, KH Yahya Chalil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebagai pemateri Fikih Peradaban dan KH Najib Bukhari, Wakil ketua Lembaga Bahstul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), sebagai pemateri Kewarganegaraan. Dilanjutkan sesi pertanyaan lalu pemberian cinderamata, yang diberikan langsung oleh KH Abdul Ghafur Maimoen kepada kedua pemateri.

Dalam penyampaiannya KH Yahya Khalil Staquf menyampaikan bahwa, Kita ini harus terlibat, baik dalam sebab maupun akibat dari dinamika global yang selalu berubah-ubah, dan berfikir secara global. Agar kita tidak selalu jadi korban dari dampak dinamika global yang selalu berubah-ubah. Karena itu kita tidak cukup hanya membahas seputar Indonesia, tetapi juga membahas hal-hal global. Sebab apa yang terjadi di Indonesia ini akan menjadi bagian dari keseluruhan dinamika global.

Baca Juga:  Ketok Palu, SEMA Resmikan UU legislatif Mahasiswa

“Bahwa muara fikih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib berkata, dunia kekuasaan negara bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun bersama orang non muslim, dan negara itu akan hancur dengan kedzaliman meskipun dengan orang muslim.” Diteruskan “Rumusan fikih klasik biasanya menempatkan kelompok non muslim sebagai kelas dua.” Tutur KH Najib Bukhari mengutip dari ucapan KH Sahal Mahfudz.

Setelah masuk sesi ke dua Moderator memberi arahan bahwa KH Abdul Ghafur Maimoen akan memberi kata pengantar terkait tema yang akan dibahas. Dilanjut Moderator mempersilahkan peserta halaqah untuk mengomentari atau sekedar mengutarakan unek-unek. Dalam sesi ini terjadi lempar argument antara peserta halaqah. acara tersebut ditutup dengan doa penutup yang dipimpin oleh KH Muhammad Idror Maimoen.

 

Penulis: A. Syaiful Huda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *