Novel Laut Bercerita dan Luka Politik yang Tak Kunjung Usai

Di tengah riuhnya demokrasi pascareformasi, Laut Bercerita hadir bukan sebagai dongeng masa lalu. Ia hadir sebagai pengingat bahwa suara-suara yang dulu dibungkam belum benar-benar pulih dari lukanya. Novel ini merupakan narasi politis yang ditulis dengan kekuatan fiksi, namun berakar pada realitas sejarah Indonesia. Leila S. Chudori memanfaatkan teknik penceritaan yang personal dan emosional untuk membongkar kenyataan yang pahit dari represi pada era Orde Baru. Lewat tokoh Laut dan keluarganya, pembaca diajak mengalami sendiri rasa takut, kehilangan, dan harapan yang tersembunyi di balik masa gelap pemerintahan otoriter. Melalui novel ini, Leila S. Chudori menghidupkan kembali memori politik yang nyaris tenggelam—tentang mereka yang hilang, ketakutan yang menjadi budaya, dan sebuah bangsa yang terlalu sering diam saat kekuasaan melampaui batas.

Novel ini mengambil latar masa-masa menjelang kejatuhan Orde Baru—sebuah periode ketika kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada penghilangan paksa, penangkapan, bahkan kematian. Lewat tokoh Laut dan kawan-kawannya, kita melihat bagaimana mahasiswa dan kaum intelektual muda dijadikan musuh oleh negara hanya karena mereka bersuara. Narasi yang dibangun Leila dengan penuh empati ini membuat kekerasan negara terasa dekat—bukan sebagai data statistik, tetapi sebagai penderitaan yang menyesakkan. Laut adalah mahasiswa biasa, bukan pejuang bersenjata. Akan tetapi, keberaniannya untuk menyebarkan pamflet, menggelar diskusi, dan menulis artikel tentang keadilan sosial sudah cukup membuatnya dianggap ancaman. Di sinilah kita melihat wajah negara otoriter. Tidak sekadar represif secara fisik, negara juga fobia terhadap gagasan.

Yang menarik dari Laut Bercerita adalah bagaimana novel ini menangkap dinamika kekuasaan yang panik. Negara digambarkan sebagai pihak yang tidak percaya diri, selalu curiga, dan memilih kekerasan sebagai cara mempertahankan legitimasi. Sementara itu, para aktivis seperti Laut justru tampil lebih percaya diri dengan segala keterbatasannya. Mereka tahu risikonya, tetapi tetap memilih bergerak. Narasi Leila memperlihatkan bahwa dalam konflik antara kekuasaan dan rakyat, bukan senjata yang membuat seseorang kuat, melainkan keberanian untuk tetap menyuarakan kebenaran. Politik dalam novel ini bukan hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan, tetapi tentang siapa yang berani melawan ketidakadilan bahkan ketika tidak ada jaminan akan didengar atau keselamatan nyawa dipertaruhkan.

Baca Juga:  Scouting Skill: Pembelajaran Outdoor UKK RACANA Pengasah Kemampuan Kognitif Pramuka Mahasiswa PGMI Semester 1

Setelah Laut menghilang, cerita beralih ke adiknya, Asmara Jati. Melalui sudut pandangnya, kita melihat dimensi lain dari kekerasan negara: bagaimana sebuah rezim bisa menghancurkan keluarga tanpa perlu menyentuh mereka secara langsung. Tidak ada surat kematian, tidak ada pengadilan. Yang tersisa hanya pertanyaan tanpa jawaban. Narasi ini mengajak kita merenungi bahwa korban dari politik otoriter bukan hanya mereka yang disiksa dan dibunuh, tetapi juga yang ditinggalkan tanpa kepastian. Politik tidak hanya hidup di ruang parlemen, tetapi juga menyusup ke ruang makan, ruang tamu, dan hati orang-orang biasa. Asmara mewakili suara masyarakat sipil yang tidak bersenjata, tetapi tidak tinggal diam. Ia menyelidiki, bertanya, dan terus menolak untuk melupakan. Bagi politik represif, narasi Asmara adalah bentuk perlawanan. Ia menolak tunduk pada narasi resmi yang ingin menyapu bersih masa lalu.

Laut Bercerita sendiri adalah bentuk politik naratif. Leila tidak hanya menulis cerita, ia menciptakan ruang untuk menghidupkan kembali memori kolektif. Dalam masyarakat yang cepat lupa, fiksi seperti ini berfungsi sebagai penanda luka yang belum sembuh. Leila tidak menawarkan penyelesaian, tapi menawarkan pengakuan bahwa kita pernah gagal melindungi mereka yang bersuara dan kita masih punya hutang pada sejarah. Fiksi menjadi bentuk paling manusiawi dari kritik politik. Ia tidak hanya mengabarkan, tetapi juga mengajak untuk merasakan. Ia tidak menyodorkan data, melainkan pengalaman. Dalam dunia yang penuh propaganda, narasi seperti Laut Bercerita menjadi tandingan yang penting. Ia membisikkan kebenaran lewat kisah, dan justru karena itu, ia lebih sulit diabaikan.

Oleh: Umniyatus Sabila Rosyad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *