Bullying Menurunkan Nilai Moral Pesantren dan Upaya Pencegahannya

Narasi Garda Pena-Berbudi pekerti dan bersikap sopan merupakan nilai moral santri yang terpatri di hadapan masyarakat. Santri yang baru keluar dari pondok pasti terlihat berakhlak dan memiliki pengetahuan yang luas. Semua orang tua menginginkan anaknya memiliki etika dan moral yang baik. Anak yang mempelajari pendidikan  di pondok sudah terjamin kebaikan dunia dan akhiratnya. Hal-hal positif pasti didapatkan dan terhindar dari  hal-hal buruk salah satunya, terpengaruh dari pergaulan dunia luar. Dengan begitu, citra pesantren dimasyarakat terlihat memiliki nilai dan  bermoral tinggi.  Dalam pesantren menerapkan sebagaimana Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 3 yaitu: untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang enggan memondokkan anak-anaknya karena mendengar kabar, seringnya santri baru mengalami bullying, yang menyebabkan mereka keluar (boyong) dari pondok. Perundungan (bullying) merupakan bentuk kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. Istilah bullying berasal dari bahasa inggris (bully) yang berarti menggertak atau mengganggu. Bullying akan selalu melibatkan ketimpangannya mental, niat untuk mencederai, ancaman dan teror terus menyerang, (Coloroso, 2007). Bullying adalah perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti targetnya secara mental atau fisik (Tisna, 2010).  Kasus ini menyebabkan penurunan moral pesantren. Karena santri pelaku bullying dinilai memiliki sikap buruk.

Moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Dalam pandangan Masyarakat, moral merujuk pada nilai baik dan buruk yang berlaku umum. Kata “moral” berasal dari bahasa latin mos dan (jamak: mores)yang berarti adat, kebiasaan, atau cara hidup. Moral atau moralitas digunakan untuk menilai perbuatan, yaitu tentang baik dan buruknya perilaku seseorang sebagai manusia yang bermartabat. Pesantren telah jelas mengajarkan dan mendidik sesuai moral yang berlaku. Pesantren juga sangat kental dengan nilai-nilai agama, sedangkan agama bisa mempengaruhi hukum dan moral. Dari hukum dan moral, lahirlah peraturan yang bersifat membatasi dan melindungi. Adanya hukum bertujuan menyadarkan publik misalnya,  kewajiban berjama’ah menunjukkan pentingnya kesatuan, dan Islam sangat menekankan ukhuwah (persaudaraan). Sementara moral bertujuan menyadarkan individu, seperti pemberian hukuman berat untuk santri yang mencuri atau mencaci maki temannya. Santri yang melanggar aturan moral dikenai sanksi lebih berat karena pelanggaran moral sudah jelas mengandung kebajikan dan keburukan. Orang yang mencuri sudah lama dinilai perilaku tercela, bahkan sebelum adanya peraturan tertulis yang melarangnya (Amran Suadi,2019).  

Baca Juga:  Menyikapi Kesenjangan Pendidikan di Kota dan di Desa dengan Teori Justice (Keadilan)

Pasal 9 ayat 1 – ayat 1a Undang-Undang No.35 Tahun 2014 yang berbunyi: (1) Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasanya sesuai dengan minat dan bakat. (1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan disatuan pendidikan dari kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Undang-Undang ini menjadi sumber hukum formil dari larangan Tindakan bullying atau kekerasan terhadap siswa.  Sementara itu, secara material, gagasan  perlindungan ini mencerminkan kenyataan bahwa banyak  anak sekolah terancam keselamatannya. Dampaknya adalah semakin banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolahnya (C.S.T. Kansil, 1986).

Upaya pencegahan bullying dapat dilakukan dengan pembelajaran akhlak ilmu-ilmu  sosial. Solusi yang tepat dalam menangani kasus ini adalah dengan mengadakan mediasi yang difasilitasi oleh pengurus pondok atau pihak sekolah bersama orang tua korban, orang tua pelaku, dan kedua pihak yang bersangkutan. Setelah mediasi, perlu ditindak lanjuti ke pihak berwenang apabila tidak ditemukan jalan damai. Hambatan utama dalam kasus bullying antara lain adalah sikap sebagian besar orang tua yang tidak netral dan cenderung membela anaknya, tidak mendukung putusan atau kebijakan pondok/sekolah, dan memilih diam serta menarik anaknya keluar dari sekolah (boyong). Sikap tersebut termasuk merupakan bentuk pelarian dari permasalahan dan harus dihindari. 

Tips dalam menghadapi masalah ini antara lain, pengurus pondok atau pihak sekolah harus fokus dalam mendidik dan menangani kasus-kasus seperti bullying dengan melakukan pengawasan secara rutin terhadap peserta didik. orang tua harus mendukung program dan peraturan pondok atau sekolah yang bertujuan untuk mendidik santri agar berkepribadian baik, santri harus mengakui kesalahan  serta siap menerima sanksi atas perilaku yang telah dilakukan, dan yang terakhir santri atau siswa harus segera melaporkan permasalahan kepada pengurus atau guru sekolah terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada orang tua (Fathi Talenta, dkk., 2024).

Baca Juga:  The Importance of Studying Accurate History: Debunking Myths about the Wealth and Crowds of the Hijaz in Pre-Islamic Times

Semua orang tentu lebih memilih berhati-hati dan menghindari kejadian yang merugikan demi masa depan anak, dengan pemikiran mencegah lebih baik dari pada mengobati. Namun untuk permasalahan ini tidak dapat sepenuhnya dihindari, karena kasus bullying sudah marak terjadi baik di pesantren maupun disekolah-sekolah umum. Oleh karena itu, upaya pencegahannya harus melibatkan semua pihak, yaitu guru, wali/orang tua, dan murid, dengan menjalin komunikasi dan kerja sama yang baik demi masa depan anak.

Oleh: Siti Lathifah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *