Antara Regulasi dan Realita: Menilik Pembentukan dan Penegakan Hukum di Indonesia melalui Kasus Pertamina 2025

Narasi Garda Pena– Hukum yang adil adalah hukum yang mampu mengabdi kepada keadilan, bukan sekadar hukum yang tertulis di atas kertas –Satjipto Rahardjo.
Hukum idealnya menjadi pilar utama dalam menciptakan keteraturan dan keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang bisa dirasakan oleh semua orang sebenarnya dapat dimulai sejak hukum itu dibentuk hingga saat hukum tersebut ditegakkan di lapangan. Untuk mewujudkan aturan yang kokoh dan adil, tentu saja setiap substansi hukum harus dibuat dengan jelas, tertulis, dan bisa diakses publik.
Jika kita melihat lebih dekat, Indonesia sebenarnya telah memiliki sistem hukum yang cukup lengkap. Mulai dari konstitusi yang menjadi dasar negara, peraturan perundang-undangan yang mengatur banyak aspek kehidupan, hingga lembaga-lembaga penegak hukum yang resmi. Semuanya ada dan berjalan secara formal.
Namun, yang sering menjadi persoalan bukanlah soal kelengkapan sistem, melainkan penerapan sistem itu sendiri. Dalam banyak kasus, hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak baru-baru ini saja kita mendengar hukum justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk menjamin keadilan bagi masyarakat luas. Kenyataan ini membuat kita berpikir bagaimana cara membawa hukum kembali ke tujuannya yang murni, yaitu melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Selama bertahun-tahun, kualitas regulasi di Indonesia terus menjadi sorotan. Banyak peraturan yang dianggap tumpang tindih dan kurang efektif dalam mengatasi permasalahan masyarakat. Misalnya, hingga tahun 2022, tercatat Indonesia memiliki lebih dari 42.000 regulasi, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Dari banyaknya jumlah tersebut, seringkali regulasi yang ada sulit diimplementasikan akibat adanya ketidaksesuaian antarregulasi (Syamsudin, 2022).
Masalah ini menjadi tamparan keras bagi Indonesia untuk segera berbenah karena penyusunan undang-undang di Indonesia masih terbilang lemah. Ini dilihat dari hasil survei global mengenai “Rule of Law Index 2021” yang dirilis oleh World Justice Project (WJP). Dalam laporan tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-68 dari 139 negara secara keseluruhan dalam hal penegakan hukum. Namun jika ditelusuri lebih dalam, posisi Indonesia dalam beberapa indikator menunjukkan kelemahan pada kualitas penerapan hukum. Indonesia menempati peringkat ke-98 pada kategori “Absence of Corruption”, sedangkan dalam kategori “Fundamental Rights”, Indonesia berada di peringkat ke-88. Kedua aspek ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam menjamin keadilan, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta menghormati hak asasi manusia (Zulfa Asdiqi, 2024).
Salah satu faktor utama yang menjadikan lemahnya posisi ini adalah karena teknik perancangan perundang-undangan yang sering kali tidak mengikuti prinsip-prinsip perumusan yang baik, seperti kepastian, keterbukaan, dan konsistensi antar peraturan. Hal ini tentu menimbulkan masalah yang serius. Regulasi yang tidak jelas dapat menghambat kegiatan usaha dan memperlambat pertumbuhan ekonomi (Munawar dkk, 2021).
Dalam berbagai kasus, fenomena ini terlihat jelas pada kasus korupsi yang sering terjadi di tubuh lembaga negara dan BUMN. Salah satu kasus yang paling menyita perhatian publik adalah skandal korupsi di PT. Pertamina yang terungkap pada tahun 2025. Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah pejabat tinggi di lingkungan perusahaan Pertamina sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan impor minyak mentah antara tahun 2018 hingga 2023. Kasus ini diperkirkan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun (sekitar USD 12 M). Skandal ini bukan hanya mencoreng nama institusi negara, tetapi juga menggambarkan lemahnya pengawasan dan ketidakefektifan hukum yang berlaku (Kompas.com, 2025).
Kasus tersebut menggambarkan ketimpangan antara regulasi yang ada dan realita penegakan hukum di lapangan. Meskipun terdapat peraturan yang mengatur tata kelola BUMN dan pengadaan barang atau jasa, implementasinya seringkali lemah akibat kurangnya integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sistem normatif, tetapi juga sebagai institusi sosial yang harus mampu mengabdi kepada keadilan dan kesejahteraan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2006). Sebagus apapun sebuah undang-undang yang dirancang, semuanya akan sia-sia jika tidak didukung oleh aparat penegak hukum yang jujur dan berintegritas. Tanpa itu, keadilan hanya akan menjadi harapan kosong.
Kasus Pertamina 2025 tersebut hendaknya menjadi cerminan dari tantangan dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indoensia. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari mulai membenahi penegakan lembaga penegakan hukum, reformasi regulasi, tranparansi dan akuntabilitas, serta penerapan hukum progresif. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan hukum di Indonesia dapat benar-benar mengabdi kepada keadilan dan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar menjadi teks yang tertulis di atas kertas.
Oleh: Azkya El Faiza