Saat Privilege Menjadi Bahan Konten: Mengupas Tren Viral Kesenjangan Sosial

Narasi Garda Pena– Akhir-akhir ini tren kesenjangan sosial menjadi topik yang hangat diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Di TikTok dan Instagram misalnya, tren kesenjangan sosial dikemas rapi dalam sebuah video berdurasi pendek yang berisi percakapan antara dua orang. Biasanya, topik utama yang menjadi buah bibir dalam konten ini berisi seputar kehidupan sehari-hari yang mencerminkan adanya kesenjangan sosial antara kedua belah pihak. Contohnya seperti suara kipas angin yang dikira hujan, hingga atap bocor yang disangka suara keran air dari wastafel.
Konten tersebut menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian orang menganggapnya sebagai humor semata, namun ada pula yang melihatnya sebagai sindiran tajam terhadap realitas kehidupan di Indonesia saat ini. Lantas, apa sebenarnya makna dari kesenjangan sosial itu sendiri?
Kesenjangan sosial, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan ketidakseimbangan, perbedaan, atau jurang pemisah yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Hal ini mencakup ketidaksetaraan dalam berbagai aspek, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan akses terhadap sumber daya lainnya. Misalnya, anak dari keluarga kaya bisa mengakses sekolah elite dan berkualitas, sementara anak dari keluarga kurang mampu kesulitan memperoleh pendidikan yang sama. Kesenjangan ini dapat memicu berbagai masalah sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas, masalah kesehatan, dan ketegangan sosial.
Tak hanya soal ketimpangan pendidikan, konten ini juga menyoroti nasib dari kalangan pekerja. Misalnya, soal lembur yang hanya dibayar dengan ucapan terima kasih, atau kewajiban bekerja di hari libur. Isu kesenjangan sosial juga dimanfaatkan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan, seperti keluhan warga terkait yang harus berdesakan naik kereta rel listrik (KRL), sementara pejabat menikmati transportasi mewah atau jet pribadi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung, Feri Firdaus, menyatakan bahwa konten kesenjangan sosial bukan hanya sekadar tren humor saja, melainkan cerminan meningkatnya keresahan generasi muda, terutama Gen Z, terhadap kondisi sosial ekonomi di Indonesia.
Di tangan Gen Z, kesenjangan sosial dibungkus rapi dalam bentuk humor. Alih-alih menyuarakannya dengan emosi, mereka menyuarakan keresahan melalui pendekatan yang dianggap sesuai dengan realitas kehidupan sehari-hari. Di balik konten lucu yang menggelitik ini, tersimpan kritik tajam terhadap akar permasalahan sosial yang membuat warganet berpikir tentang realitas pahit di Indonesia yang terkandung dalam konten tersebut.
Adanya kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar di Indonesia bukan hanya menjadi tantangan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap integrasi nasional. Ketimpangan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan distribusi kekayaan menciptakan jurang antar kelompok masyarakat yang dapat memicu adanya disintegrasi nasional.
Mengacu pada pemikiran Howard Wriggins dalam Muhaimin dan Collin Max Andrews, terdapat lima pendekatan untuk mencapai integrasi nasional, yaitu: ancaman dari luar, gaya politik kepemimpinan, kekuatan lembaga-lembaga politik, ideologi nasional, dan kesempatan pembangunan ekonomi. Fenomena kesenjangan sosial saat ini tidak mencerminkan integrasi nasional karena salah satu aspek tersebut tidak terpenuhi, yakni gaya politik kepemimpinan yang tidak adil.
Dari fenomena privilege yang menjadi konten viral, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan sosial bukanlah masalah kecil. l. Ini adalah persoalan kompleks yang membutuhkan kesadaran kolektif, kebijakan inklusif, dan aksi nyata untuk mengatasinya. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih adil, dengan cara menghargai perbedaan, menumbuhkan empati, dan mendukung perjuangan keadilan sosial.
Oleh: Dewi Suciati