Menyeduh Makna dalam Dua Barista: Menyingkap Pesan-Pesan Tersembunyi Najhaty Sharma

Menyeduh Makna dalam Dua Barista

Narasi Garda PenaNovel berlatar belakang pesantren dan bertema poligami ini menjadi bestseller dengan penjualan lebih dari sepuluh ribu eksemplar. Tak heran jika novel tersebut masih diminati banyak orang, meskipun telah diterbitkan sejak tahun 2020. Mengangkat isu yang dekat dengan realitas dan dikemas dengan gaya bahasa yang menyentuh, karya ini membuat pembaca merasa terhubung secara emosional.

Tak hanya menarik dan mampu membawa pembaca larut dalam alur ceritanya yang penuh plot twist, Dua Barista juga sarat akan pembelajaran bermakna. Namun, banyak pembaca tidak menangkap pesan utama dari penulis, sebab kisah poligami sebenarnya hanya dijadikan pemanis cerita. Hal ini kemudian memantik persoalan-persoalan yang lebih urgen, seperti kritik sosial terhadap budaya yang masih melekat di kehidupan kita, terutama di lingkungan pesantren.

Berlatar pesantren yang juga menjadi bagian dari kehidupan sang penulis, novel ini hadir dengan kisah yang mengalir hidup dan kuat dalam penokohan. Cerita yang disampaikan terasa relevan dan menggugah, karena dekat dengan realitas keseharian. Melalui tokoh-tokohnya, mari kita menyelami pesan-pesan yang ingin disampaikan Najhaty Sharma dalam Dua Barista.

Pemberdayaan Perempuan

Novel ini bercerita tentang Mazarina, istri pertama yang setiap hari harus menghadapi pergulatan batin. Ia harus menerima takdirnya sebagai perempuan yang mandul, sekaligus merelakan kehadiran Meysaroh sebagai madunya. Setiap hari dia bergelut dengan konflik batin dan kecemasan akan stigma-stigma dari lingkungan sekitarnya.

Dituntut untuk menjadi perempuan yang sempurna, di tengah kemelut hatinya, sosok Mazarina ini mengajarkan bagaimana seorang perempuan bisa bangkit dari keterpurukannya, Jika satu kunci keberdayaan ditemukan, maka pintu-pintu lain dalam hidup akan terbuka. Di situlah letak kemerdekaan perempuan yang sesungguhnya.

Baca Juga:  WISATA REPLIKA SD LASKAR PELANGI

Mazarina mencoba bangkit dari keterpurukan. Ia mulai mengepakkan sayap di dunia fashion, belajar mengerjakan pekerjaan domestik seperti memasak, serta mulai peka terhadap lingkungan sosial, sesederhana beramah tamah dengan tamu dan tetangga, hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Dari tokoh ini, kita belajar bahwa pemberdayaan perempuan bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan. Ia menunjukkan bahwa perempuan mampu berdaya meski hidup dalam kungkungan tradisi dan budaya.

Budaya Feodalisme dalam Pesantren

Budaya feodal masih melekat di lingkungan pesantren—meskipun tidak sepenuhnya. Dalam novel ini, Ahvash digambarkan sebagai putra semata wayang pengasuh Pesantren Tegalklopo. Karena itu, tongkat estafet kepemimpinan pesantren otomatis jatuh kepadanya. Seiring berkembang pesatnya pesantren, Ahvash dituntut untuk memiliki keturunan sebagai calon penerus. Namun, diagnosis dokter terhadap istrinya memupuskan harapan tersebut. Maka muncullah wacana poligami, yang menjadi titik awal konflik novel ini.

Penulis menyampaikan kritik sosial terhadap budaya feodal yang masih mengakar di lingkungan pesantren, terutama dalam tradisi pewarisan kepemimpinan yang hanya diberikan kepada keturunan sedarah. Namun, hal ini tidak serta-merta dapat dianggap sebagai bentuk feodalisme semata. Pesantren memiliki logika spiritualnya sendiri, seperti keyakinan akan konsep barokah yang dipercaya bisa diwariskan kepada anak keturunan. Terlebih jika sang anak dibimbing secara serius dan memiliki kompetensi yang diakui, maka pewarisan itu dianggap sah secara moral dan spiritual.

Menjadi Ibu Spiritual

Sosok Mazarina juga digambarkan sebagai ibu spiritual. Ia adalah pribadi yang penyayang, mampu menghadirkan ketenangan dalam rumah tangga, dan dengan keteladanannya, mampu meluruhkan ego untuk memaafkan Meysaroh. Latar belakang hidupnya yang penuh pelayanan tidak serta merta menjadikannya sosok yang kemening. Justru sebaliknya, tumbuh sebagai sosok mandiri yang mau belajar banyak dari keseharian dan hal-hal kecil di sekitarnya.

Baca Juga:  Who is a High Value Woman?

Karakternya yang terbuka membuatnya mampu merangkul semua orang, tanpa memandang latar belakang. Meskipun tidak ditakdirkan menjadi ibu biologis, Mazarina telah menjadi ibu spiritual—yang dengan ketenangan jiwanya, memberi cahaya tanpa syarat.hal ini terbukti dengan banyaknya ibu-ibu biologis di luar sana yang menintipkan putri-putrinya untuk dia didik di pesantren.

Maka perlunya kita sebagai perempuan untuk terus meng-upgrade diri, dengan terus mengembangkan potensi yang ada pada diri kita, dan bertumbuh menjadi perempuan yang berpendidikan, berdikari, dan berdaya. Sebab perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya, ia tidak cukup hanya menjadi ibu biologis, tetapi juga perlu menjadi ibu spiritual bagi anak-anaknya.

Oleh: Rosikhoh Ma’rifati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *