Melalui Buku Laut Bercerita, Kita Menyimak Tragedi Aktivis Era Orde Baru

Novel Laut Bercerita

Narasi Garda PenaLaut Bercerita merupakan sebuah novel karya Leila S. Chudori yang terinspirasi dari kisah nyata pada masa Orde Baru. Novel ini menghadirkan potret perjuangan para aktivis dalam menuntut keadilan dan perubahan di tengah represi kekuasaan. Kisah ini tak hanya menyentuh aspek historis dan politis, tetapi juga menggambarkan secara mendalam sisi kemanusiaan melalui persahabatan, pengkhianatan, serta duka kehilangan.

Sebelum menulis novel ini, Leila melakukan riset mendalam dengan mewawancarai korban penculikan yang selamat dan keluarga mereka yang masih hilang. Ia menelusuri berbagai wilayah, termasuk pelosok Solo dan Yogyakarta, ditemani oleh kawan-kawannya. Riset ini menjadi fondasi kuat dalam membangun cerita yang akhirnya diterbitkan pada 2017.

Perjuangan yang Dibungkam Oligarki Orde Baru

Novel ini mengangkat perjuangan para aktivis seperti Biru Laut, Sunu Dyantoro, Kasih Kinanti, Asmara Jati, Bram, Julius, Anjani, Alex Perazon, Naratama, Gusti, Narendra, Daniel Tumbuan, dan lainnya. Mereka adalah suara-suara lantang yang menuntut perubahan terhadap lima undang-undang politik, mengecam pembredelan media, serta menolak normalisasi kampus yang mengekang kebebasan berpikir.

Salah satu momen penting dalam novel ini adalah aksi tanam jagung di Blangguan tahun 1993. Aksi ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak tanah warga yang hendak diambil alih pemerintah untuk dijadikan lapangan latihan militer. Namun, aksi tersebut gagal karena aparat telah terlebih dahulu mengetahui rencana mereka. Dari sinilah tragedi dimulai—para aktivis mulai diculik satu per satu, disiksa secara tidak manusiawi, dan sebagian besar tidak pernah kembali.

Perjuangan dengan Akhir Kehilangan, Para Keluarga Korban Menuntut Keadilan di Istana Negara

Penyiksaan yang digambarkan dalam novel sangat menyayat hati. Para aktivis dipukuli, disetrum, diinjak, dan ditendang. Lebih menyakitkan lagi ketika terungkap bahwa pengkhianatan datang dari dalam: Gusti, sahabat yang mereka percaya, ternyata bekerja sama dengan aparat. Bertahun-tahun setelah tragedi itu, sebagian aktivis yang sempat diculik dikembalikan dalam kondisi mental yang terguncang. Namun, banyak pula yang hingga kini belum diketahui nasibnya, termasuk Biru Laut. Mengetahui hal itu Asmara Jati bersama para sahabat dan keluarga korban mendirikan Komisi Orang Hilang, sebuah organisasi yang bertujuan mencari dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang belum kembali.

Baca Juga:  JQH ADZ DZAUQ: Anggota Junior Dominasi Petugas Majlis Salawat

Setiap Kamis, keluarga korban melakukan aksi damai di depan Istana Negara. Dua orang berjalan mengenakan baju hitam, kain putih penutup kepala, dan membawa payung hitam— simbol duka dan penantian tanpa ujung. Aksi ini terus dilakukan hingga bertahun-tahun, menjadi simbol perlawanan tanpa kekerasan dan bentuk solidaritas yang tak pernah padam.

Memasuki tahun 2008, kisah tentang hilangnya para aktivis mulai ramai diperbincangkan publik melalui berbagai medium: musik, drama, dan karya sastra. Namun, tuntutan utama mereka tetap sama: pengungkapan kasus secara menyeluruh oleh pemerintah. Jika tidak dilakukan oleh pemimpin saat ini, harapan tetap disematkan pada pemimpin berikutnya.

Laut Bercerita Sebagai Bentuk Refleksi Sosial Politik di Indonesia

Salah satu kutipan yang menjadi jiwa novel ini adalah:
 ā€œMatilah engkau mati, engkau akan hidup berkali-kali.ā€
Syair ini menjadi penegasan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan takkan pernah benar-benar padam, bahkan ketika raga telah tiada. Semangat para pejuang akan terus hidup dalam ingatan, karya, dan aksi generasi yang mewarisi keberanian mereka.

Membaca novel ini menghadirkan dorongan bagi pembaca untuk berpikir kritis dalam memahami konsep kewarganegaraan, khususnya terkait nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Laut Bercerita tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra semata, tetapi juga sebagai refleksi sosial-politik yang mendalam mengenai situasi Indonesia. Karya ini mengajak kita untuk tidak melupakan sejarah, untuk terus menentang ketidakadilan, dan untuk tetap teguh dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Novel karya Leila S. Chudori ini tidak hanya menceritakan kisah pilu masa Orde Baru, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya hak asasi manusia, keberanian bersuara, dan ingatan terhadap sejarah yang belum tuntas. Karya ini menjadi pengingat bahwa suara-suara yang dibungkam masih terus bergema dalam hati mereka yang terus berjuang.

Baca Juga:  Wana Karya HMP PGMI Resmi Ditutup: Sebagian Target Belum Tercapai

Oleh: Ni’matul Izzah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *