Mohammad Hatta: Demokrasi Berakar, Bukan Sekedar Prosedur

Narasi Garda Pena-Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Mohammad Hatta tidak hanya dikenal sebagai Bapak Proklamator Kemerdekaan, tetapi juga sebagai Pemikir Demokrasi yang jauh melampaui zamannya. Melalui buku “Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman”, kita dapat melihat bagaimana demokrasi tidak hanya menjadi sistem politik, tetapi juga sebagai nilai hidup yang harus mewujud dalam keseharian rakyat. Di sini, Hatta menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berakar pada nilai-nilai lokal seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Ia juga sangat menginginkan kalau demokrasi ekonomi dan demokrasi politik berjalan beriringan. Demokrasi bagi Hatta juga erat dengan moral dan tanggung jawab, serta keadilan antara para pemimpin dan rakyat. Baginya demokrasi adalah perwujudan keadilan.

Dalam buku “Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman”, dari bab pertama yang berjudul “Tamasya Sejarah Bersama Hatta”, diterangkan disitu bahwa bukan hanya kisah tentang perjuangan politik, tapi juga tentang jejak moral seorang pemimpin. Ia menolak sistem yang membungkam suara rakyat, bahkan jika sistem itu dibungkus dalam nama demokrasi. Pada tahun 1960-an, “Demokrasi Kita” yang ditulis oleh Hatta disitu dikatakan bahwa ia menawarkan keseimbangan menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan, tapi bacaan tersebut dinyatakan terlarang. Dalam “Demokrasi Kita” juga merupakan reaksi atas munculnya kediktatoran Sukarno pada tahun 1950-an. Dari situlah, menurutnya demokrasi dapat berjalan baik jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata diktator: “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya”. Tapi Hatta mengecam semangat ultrademokratis sama kerasnya dengan dia mengkritik kediktatoran. Hatta: “Diktator yang bergantung pada kewibawaan orang-seorang tidak lama umurnya dan akan roboh dengan sendirinya seperti rumah dari kartu”.

Baca Juga:  Letak Jiwa Bangsa Menghadapi Maraknya Budaya Viral terhadap Budaya Bangsa

Contoh sederhana peristiwa yang bertentangan dengan semangat demokrasi berbasis keadilan dan keberpihakan pada rakyat kecil yang Hatta perjuangkan. Yaitu, salah satu bentuk penyimpangan dari demokrasi yang diperjuangkan Hatta terlihat dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol atau bandara, yang sering kali dilakukan tanpa pelibatan warga secara menyeluruh. Misalnya, dalam pembangunan tol Yogyakarta-Solo, banyak masyarakat merasa terpaksa melepaskan tanah mereka tanpa proses dialog yang layak dan ganti rugi yang pantas. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan prinsip demokrasi partisipatif yang diyakini Hatta, di mana rakyat seharusnya memiliki ruang untuk terlibat dalam setiap keputusan penting. Bagi Hatta, pembangunan yang ideal berlandaskan pada musyawarah dan keadilan sosial. Demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi tentang menghormati rakyat sebagai pelaku utama dalam pembangunan, bukan sekadar penerima keputusan.

Banyak tulisan Hatta yang menjadi bukti terpenting bahwa bukan kalangan militerlah yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata. Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Ghandi, ketajaman pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada tembakan salvo mana pun (meriam, senapan, peluncur rudal, dll.). Dari sini kita tahu, bagi Hatta, demokrasi bukan soal siapa yang berkuasa, tapi untuk siapa kekuasaan itu digunakan. Dalam buku “Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman”, Hatta adalah orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan. Menurut Hatta, pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya.

Oleh: Salwa Hanifatus Sholihah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *