Letak Jiwa Bangsa Menghadapi Maraknya Budaya Viral terhadap Budaya Bangsa

Narasi Garda Pena-Indonesia sebagai bangsa yang merdeka kini menghadapi tantangan besar di tengah derasnya arus globalisasi, khususnya dalam bentuk budaya viral yang menyebar cepat melalui media sosial. Fenomena ini memengaruhi gaya hidup, pergaulan, hingga pola pikir generasi muda, yang cenderung meniru tren budaya asing dibandingkan melestarikan budaya nasional. Gaya hidup hedonis dan komunikasi instan menjadi bagian dari keseharian yang sulit dihindari. Pertanyaannya, di manakah letak jiwa bangsa Indonesia yang sejati?
Ernest Renan pernah menyatakan bahwa bangsa adalah sebuah jiwa, dibentuk oleh kesadaran akan sejarah bersama dan kehendak untuk hidup bersama. Kaelan (2007) juga mengungkapkan bahwa identitas nasional bersumber dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan suatu bangsa. Maka, pertanyaan pentingnya adalah: apakah budaya bangsa mampu mengembalikan jati diri generasi muda, atau justru budaya viral yang akan terus mengikis kesadaran mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia?
Saat ini, generasi muda lebih terpengaruh oleh budaya viral yang mengubah selera, perilaku, hingga pola pikir mereka. Mereka cenderung mengidolakan tokoh-tokoh dari budaya populer global—seperti selebritas Hollywood, grup musik K-pop, dan kreator TikTok asing—daripada tokoh-tokoh sejarah nasional atau seniman lokal. Nama-nama seperti BTS, EXO, Blackpink, dan Taylor Swift lebih dikenal daripada Chairil Anwar, Ibu Kartini, atau Ki Hajar Dewantara. Pergeseran ini menunjukkan terjadinya krisis identitas nasional karena menurunnya orientasi terhadap budaya lokal.
Konsep Renan mengenai “kesadaran sejarah bersama” kian memudar. Demikian pula dengan pernyataan Kaelan bahwa identitas nasional tumbuh dari nilai-nilai budaya bangsa. Ketika budaya lokal dianggap tidak menarik atau tidak relevan dengan zaman, generasi muda akan beralih kepada budaya viral yang dianggap lebih modern dan “kekinian”. Bahasa daerah, seni tradisional, hingga norma-norma sosial perlahan ditinggalkan. Krisis ini bukan hanya akibat dari pengaruh luar, tetapi juga karena kurangnya kesadaran dan kebanggaan terhadap jati diri bangsa sendiri.
Untuk menjaga jiwa bangsa di tengah arus budaya viral, generasi muda perlu diberikan bekal dan dukungan agar tetap terhubung dengan akar budayanya. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:
- Pendidikan kebangsaan yang relevan dan menyentuh hati; Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa dengan cara yang menarik dan kontekstual.
- Penguatan konten budaya di media sosial; Budaya lokal perlu dikemas secara kreatif agar mampu bersaing di dunia digital.
- Dukungan terhadap ekspresi budaya local; Pemerintah dan masyarakat perlu memberi ruang dan apresiasi terhadap kreativitas berbasis budaya lokal.
- Keteladanan dari tokoh public; Tokoh publik harus menjadi panutan dalam mencintai dan mempromosikan budaya Indonesia.
Menjaga jiwa bangsa bukan hanya tugas pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab bersama, terutama generasi muda sebagai pewaris masa depan. Bangsa tanpa jiwa akan mudah hanyut dalam arus globalisasi, namun bangsa yang mengenal jiwanya akan mampu berdiri tegak, bahkan di tengah gelombang zaman.
Oleh: Salwa Hanifatus Sholihah