Demokrasi di Ujung Bayonet: Suara Mahasantri terhadap RUU TNI

Demokrasi Indonesia tidak lahir begitu saja, melainkan ia tumbuh dari perjuangan rakyat yang berusaha menolak otoritarianisme dan menginginkan sistem pemerintahan yang menjamin partisipasi, transparansi (menjamin ketebukaan informasi), dan supremasi hukum. Namun belakangan ini, udara demokrasi kita seperti tercemari. Salah satunya datang dari wacana Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang masih hangat diperbincangkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengundang banyak kritik serta penolakan atas pengesahannya karena prosesnya yang minim partisipasi publik dan tidak terbuka dalam menetapkan hukum-hukum negara dan perundang-undangan. Hal ini justru menjadikan rakyat khawatir akan kembalinya kuasa militer dalam ranah sipil dan mengancam demokrasi yang telah kita jaga selama ini.

Sebagai seorang santri sekaligus mahasiswa, saya merasa tidak bisa tinggal diam. Peran TNI memang vital dalam menjaga kedaulatan negara, tetapi ketika ranah kewenangannya mulai diperluas tanpa batas yang jelas, maka kita harus bersuara. Meskipun dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyebutkan bahwa “demokrasi tak selalu mati karena kudeta bersenjata. Sering kali, demokrasi mati perlahan dari dalam oleh pemerintah yang secara sah terpilih namun kemudian merusak institusi demokrasi dengan cara yang tampak legal. Mereka mengabaikan norma-norma, melemahkan lembaga pengawasan, dan memperluas kekuasaan atas nama stabilitas.”

Proses pengesahan RUU TNI ini seakan-akan pemerintah sedang membungkam aspirasi rakyat agar tidak ikut campur dalam urusan negara. Karena hal tersebut sudah tercatat dalam sejarah Indonesia yaitu tentang bagaimana militerisme pernah membungkam kritik dan memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit. Maka dari itu, reformasi 1998 menjadi tonggak penting militer untuk kembali ke tempatnya (barak), dan politik sipil mulai tumbuh dan berperan penuh dalam pemerintahan. Namun, draf RUU TNI terbaru malah membuka kembali peluang bagi militer untuk ikut serta dalam urusan sipil. Ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga soal prinsip dasar demokrasi yaitu pemisahan antara fungsi militer dan sipil. Lebih parahnya lagi, RUU ini juga memberikan kewenangan besar kepada TNI untuk menangani ancaman nonmiliter, termasuk konflik sosial dan bencana alam tanpa memiliki kejelasan mekanisme kontrol sipil. Padahal, dalam prinsip demokrasi modern, penanganan isu nonmiliter seharusnya berada di bawah kendali otoritas sipil dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas publik. Tanpa pengawasan, langkah ini bisa membuka jalan pada tindakan represif yang dibenarkan atas nama keamanan nasional. Mengenai hal ini sudah sempat disinggung dalam buku Huntington (1991) yang menyebut bahwa Demokrasi sulit dilakukan dalam situasi ketidaksetaraan yang terkonsentrasi di mana mayoritas besar yang miskin berhadapan dengan oligarki kecil yang kaya”.

Sebagai santri sekaligus mahasiswa, saya dididik oleh para guru dan dosen untuk berpikir kritis terhadap segala bentuk penyimpangan kekuasaan dan mengupayakan keadilan. Oleh karena itu, saya melihat revisi UU TNI bukan sekadar produk hukum, tetapi bisa menjadi alat pembuka pintu bagi kemunduran demokrasi. Hal ini menandakan bahwa kita tidak anti-militer justru kita malah menghargai peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara. Tapi penghormatan itu bukan berarti menyerahkan ranah sipil ke tangan kekuasaan bersenjata.

Baca Juga:  Gerakan Literasi Merawat Ekologi: Dari Puisi Untuk Alam

Levitsky dan Ziblatt juga menyebutkan dalam bukunya bahwa dua indikator utama pembunuh demokrasi adalah: yang pertama, penolakan terhadap aturan main demokratis, dan yang kedua, toleransi terhadap penggunaan kekuasaan yang tidak demokratis. Dalam konteks Indonesia hari ini, revisi UU TNI bisa menjadi contoh nyata dari keduanya. Yang mana ia telah melemahkan institusi sipil dan memberikan kekuasaan ekstra-konstitusional kepada militer.

Demokrasi bertahan bukan hanya dengan optimisme saja, tetapi juga dengan rakyat yang terus menjaganya. Kritik merupakan bentuk cinta tanah air bukan kebencian terhadap negara. Kita pasti tidak ingin kembali ke masa ketika suara rakyat dibungkam, dan militer berada di atas hukum. Revisi undang-undang TNI adalah pertaruhan atas masa depan demokrasi Indonesia. Jika hari ini kita membiarkan pasal-pasal ambigu dan wewenang tanpa batas diberlakukan, maka besok kita bisa kehilangan ruang-ruang bebas untuk berpikir dan berbicara.

Berhubungan dengan kasus di atas, salah satu ilmu yang pernah diajarkan oleh dosen saya adalah mengenai pendidikan kewarganegaraan yang memiliki fungsi untuk mengurangi ketimpangan informasi yang berarti juga ketimpangan politik. Agar tujuan tersebut tercapai, maka negara harus menjalankan tugas untuk membangkitkan kembali kepercayaan warga negara dengan melalui beberapa aspek, yaitu:

  1. Transparansi dan akuntabilitas: Menjamin keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban pemimpin terhadap rakyat.
  2. Supremasi hukum: Semua warga negara, termasuk pejabat, tunduk pada hukum yang adil.
  3. Pendistribusian modal sosial yang merata.
  4. Jaminan atas keberadaan ruang berpendapat.

Adapun salah satu tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah menjadikan identitas kewarganegaraan sebagai pengetahuan dasar tentang hak dan kewajiban, termasuk mekanisme demokrasi di dalamnya dan menjadikan ekspresi warga negara sebagai pengetahuan untuk warga negara dalam memanfaatkan fungsi instrumental demokrasi.

Baca Juga:  Antara Keindahan Alam dan Jerat Kemiskinan: Realita Pahit di Balik Keindahan Indonesia

Oleh: Zaskia Laili Navilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *