Buka Pasar, Hancurkan Industri? Ketika Nasionalisme Harus Tunduk pada Apple

Buka Pasar, Hancurkan Industri? Ketika Nasionalisme Harus Tunduk pada Apple

Narasi Garda Pena“Di tengah tuntutan pasar global dan rasa cinta tanah air yang tertancap dalam, Prabowo menawarkan wajah baru nasionalisme yang pragmatis dan adaptif. Pertanyaannya: apakah kita mampu menghadapi masanya atau justru sikap pragmatis atas nasionalisme merupakan sebuah kesalahan dalam memaknai nasionalisme? Perlukah kita mempelajari strategi Negeri Tirai Bambu?”

Buka Pasar, Hancurkan Industri? Ketika Nasionalisme Harus Tunduk pada Apple
Picture by: https://setneg.go.id/

Belum lama ini, publik kembali dihebohkan dengan kasus iPhone 16 yang gagal masuk ke pasar Indonesia. Produk Apple ini terkendala aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang mensyaratkan minimal 35% komponen lokal untuk semua perangkat yang dipasarkan di Indonesia. Karena belum memenuhi ketentuan tersebut, iPhone 16 tertahan dan tidak bisa dijual di pasar Indonesia.

Namun, pasca pertemuan Presiden Prabowo dengan CEO Apple, Tim Cook, pada April lalu, kebijakan TKDN tiba-tiba dibatalkan. Prabowo menyebut bahwa TKDN terlalu kaku dan tidak realistis menghadapi persaingan global. Sebagai gantinya, Apple berkomitmen akan berinvestasi sebesar 1 miliar dolar AS di Indonesia.

Langkah ini menuai respons beragam. Sebagian kalangan industri menyambut baik pembatalan TKDN karena dianggap mampu meningkatkan daya saing nasional. Namun, di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan: apakah ini bentuk nasionalisme baru yang pragmatis? Atau justru awal dari disintegrasi industri dalam negeri?

Dalam pernyataannya, Prabowo menegaskan bahwa dirinya tetap nasionalis. “Kalau jantung saya dibuka, yang keluar Merah Putih,” ujarnya. Namun nasionalisme bukan hanya soal pernyataan simbolik, melainkan juga strategi konkret menjaga kedaulatan ekonomi bangsa.

Pertanyaannya kemudian: apakah membatalkan TKDN dan membuka keran impor tanpa strategi penguatan industri lokal bisa dianggap nasionalisme? Ataukah justru ini menandai rusaknya integrasi antara negara dan rakyat dalam memajukan produksi dalam negeri?

Baca Juga:  Harlah ke-5 HMP IQT - Ambil Kursi Duta 2023

Nasionalisme berbeda dengan kepercayaan (integrasi sosial-politik). Nasionalisme tidak begitu saja hilang saat rakyat kecewa. Contoh fenomena postingan di media sosial dengan tagar #kabur aja dulu. Apakah mereka tidak cinta Indonesia? Tentu bukan. Sebagian besar mereka justru kecewa karena merasa tidak dilibatkan atau tidak dilayani oleh negara (disintegrasi).

Integrasi memiliki dua unsur: struktur dan fungsi. Ketika salah satunya lumpuh, maka akan terjadi disintegrasi. Dalam konteks ini, mungkin yang bermasalah bukanlah nasionalismenya, tapi integrasi antara pemerintah danmasyarakat yang lemah (misunderstanding).

Sama halnya dengan kebijakan TKDN. Meskipun niat Prabowo untuk memperkuat daya saing patut diapresiasi, rasa percaya masyarakat tetap bisa menurun jika tidak dibarengi transparansi dan strategi jangka Panjang. Akhirnya walaupun keputusan Prabowo terlihat Rasional, tetap akan dibaca negatif karena persepsi publik yang sudah terlanjur sinis.

Sikap kritis publik terhadap keputusan ini bukan berarti menghindari investasi asing. Sebaliknya, masyarakat menagih adanya strategi yang melindungi industri nasional dari dominasi produk global. Banyak yang khawatir, pembatalan TKDN akan menjadikan Indonesia sekadar pasar, bukan pemain.

China bisa menjadi cermin. Negara itu tetap menerima investasi asing, tetapi dengan syarat ketat: transfer teknologi wajib, kemitraan dengan perusahaan lokal, dan strategi substitusi bertahap. Dengan disiplin, China kini berdiri sebagai kekuatan industri dunia, bahkan mampu bersaing dengan Amerika.

Indonesia pun semestinya tidak menolak iPhone, tetapi memanfaatkan kehadirannya untuk memperkuat sumber daya lokal. TKDN bukan satu-satunya cara, tetapi tanpa mekanisme perlindungan yang cerdas, industri nasional akan melemah. Maka wajar jika publik bertanya: di mana letak nasionalisme sejati pada semangat berdaulat, atau pada investasi instan tanpa hasil?

Jika Prabowo ingin membangun nasionalisme yang fleksibel, publik menanti arah kebijakannya: apakah akan menyerah pada pasar, atau menyusun strategi jangka panjang agar Indonesia tak hanya jadi ekor di tengah gempuran teknologi global.

Baca Juga:  Puncak Wana Karya 2023, Joko Supriyanto “seorang guru yang siap mengajar adalah guru yang mau belajar”

Oleh: Ilmi Kamila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *