Negara, Rasa, dan Rakyat: Tafsir Integrasi Lewat Bumi Manusia

Narasi Garda Pena– Integrasi nasional bukan sekadar proyek politik, melainkan sebuah benang merah yang mengikat sejarah, nilai, ruang, dan hati manusia. Dalam negeri sebesar Indonesia yang dibangun dari ribuan pulau dan jutaan perbedaan, integrasi adalah proses yang rumit namun niscaya. Pramoedya Ananta Toer melalui novel Bumi Manusia tidak hanya menghadirkan cerita sejarah, tetapi juga serpihan jiwa bangsa yang tengah membentuk dirinya dengan cinta sebagai nyala kecil yang menyinari jalannya.
Teori Myron Weiner menyebutkan lima bentuk integrasi nasional, yakni integrasi bangsa, wilayah, nilai, elite-massa, dan tingkah laku. Keseluruhan bentuk ini hidup dalam perjalanan Minke, seorang pemuda pribumi yang mencoba menembus batas-batas sosial kolonial. Bukan hanya jiwa perlawanan dan pena yang membentuknya, melainkan juga cintanya yang mendalam dan tragis kepada Annelies. Cinta yang tak semata soal romansa, tetapi juga menjadi titik awal kesadaran tentang ketidakadilan sistemik yang harus dilawan.
Integrasi bangsa tampak ketika Minke yang awalnya terperangkap dalam kebanggaan kelas bangsawan justru memilih berdiri bersama rakyat. Ia mencintai Annelies yang lahir dari darah campuran dan ibunya yang seorang nyai (status yang direndahkan dalam masyarakat pada saat itu). Namun, dari cinta itulah Minke belajar bahwa kebangsaan bukan soal darah dan silsilah, melainkan soal keberanian untuk memilih berdiri bersama mereka yang tertindas.
Minke yang berpendidikan Belanda tidak memilih jalan aman di menara gading, melainkan memilih menjadi suara bagi rakyat kecil. Ia menulis, berdebat, dan menggugat. Dari relasi personalnya dengan Annelies dan Nyai Ontosoroh, Minke kemudian menyadari bahwa perubahan bukan dimulai dari parlemen, tetapi dari rumah dan dari hati.
Cinta Minke dan Annelies menyatukan dua dunia yang secara sosial ditakdirkan tidak bisa bersatu. Namun, mereka menolak tunduk. Bahkan ketika hukum kolonial memisahkan mereka, cinta itu tetap hidup sebagai simbol bahwa perbedaaan bisa dipersatukan oleh kemanusiaan. Nyai Ontosoroh menunjukan nilai-nilai integratif seperti keberanian, pendidikan, dan martabat yang tidak bisa diukur oleh status formal.
Integrasi wilayah dan sosial yang dikembangkan oleh Christian Drake terlukis jelas dalam alur novel ini. Tata kota kolonial memisahkan anatara pusat kekuasaan dan rakyat pinggiran. Di balik pagar rumah-rumah Eropa, hak-hak manusia dibatasi. Kisah cinta Minke dan Annelies terjadi di ruang yang sempit dan penuh batas. Akan tetapi dengan adanya hal ini, justru semangat integrasi muncul. Semakin jelaslah bahwa ruang bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal siapa yang diberi akses dan siapa yang dijauhkan dari kekuasaan.
Bumi Manusia juga menggambarkan ketimpangan yang besar. Hanya segelintir orang yang menguasai produksi dan distribusi kekayaan. Sementara itu, rakyat harus berjuang untuk bertahan hidup. Ketidakadilan inilah yang menjadi penghalang terbesar terbentuknya integrasi ekonomi. Maka, cinta dalam cerita ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan keras. Ia bukan bunga di taman damai, tetapi bunga yang tumbuh di celah-celah reruntuhan ketidakadilan.
Maka ketika Bung Karno mengutip William Penn dalam buku Di Bawah bendera Revolusi II, “The New World does not begin when pens inscribe signatures on parchment at a peace-table. It begins when God inscribes His willl on the hearts of men”. “Kita paham dunia baru bukan soal dokumen atau pidato, melainkan soal hati”. Cinta Minke kepada Annelies adalah representasi paling tulus dari hati yang merindukan dunia baru, dunia yang menyatukan, bukan memisahkan. Ketika cinta mereka gagal bersatu karena Annelies direnggut dan dibawa ke Belanda, lahirlah kesadaran kolektif. Kesadaran yang menunjukkan bahwa cinta yang tak mampu disatukan oleh sistem kolonial menjadi bukti bahwa sistem itu sendiri harus diganti. Bahwa bangsa ini tak bisa berdiri di atas hukum yang hanya berpihak pada satu ras atau kelas.
Integrasi nasional pada akhirnya bukan sekadar persolan struktur atau kebijakan, melainkan soal bagaimana bangsa ini memahami luka, menyatukan nilai, dan memberi ruang bagi cinta seperti milik Minke dan Annelies untuk hidup. Cinta mereka memang berakhir pilu, tetapi dari kepiluan itu, kita melihat bahwa integrasi bukanlah proyek elit semata. Ia lahir dari relung hati yang memahami bahwa bangsa dibangun dari rasa saling memiliki dan saling memperjuangkan.
Cinta yang tertulis dalam Bumi Manusia bukan hanya menuturkan kisah pribadi dua insan, melainkan pribadi metafora tentang bangsa yang sedang mencari bentuknya. Saat Minke mencintai Annelies yang berdarah campuran dan lahir dari rahim seorang nyai, ia sedang menolak garis-garis batas buatan kolonialisme. Ia sedang mengatakan bahwa identitas Indonesia tidak bisa dibangun dari eksklusi, tetapi dari keberanian merangkul yang berbeda. Dalam keberanian itu, cinta bukan hanya alat perlawanan. Ia adalah bentuk integrasi paling murni yang tak bisa dikalahkan oleh hukum, kasta, atau kolonialisme.
Dari Bumi Manusia, kita belajar bahwa dalam dunia yang berusaha memisahkan, mencintai adalah tindakan revolusioner. Dalam nilai kebangsaan, mencintai sesama warga negara tanpa memandang ras, agama, atau kelas adalah fondasi paling kokoh dari sebuah integrasi nasional yang sejati. Sekali lagi, Minke menulis dan negara membentuk.
Oleh: Rizqina Zulfa