K.H. Muhammad Najih Maimoen: Kalau Ingin Menghargai Pesantren, Pemerintah Harus Mengakui Musyawarah Malam

Menghargai Pesantren

Sarang, Narasi Garda Pena–Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, K.H. Muhammad Najih Maimoen menyampaikan langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah jika memang berkomitmen ingin menghargai pesantren. Abah Najih (sebutan K.H. Muhammad Najih Maimoen, red.) menyampaikan langkah tersebut sebelum memimpin doa penutup dalam acara Halaqoh Kebangsaan dan Ijma’ Ulama-Kiai Pantura untuk Perubahan Indonesia 2024 yang diselenggarakan pada Ahad (25/12) di Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS) Sarang.

Abah Najih mengatakan, keinginan Anies Baswedan untuk memperhatikan pondok pesantren membuatnya terkesan. Mewakili seluruh pengasuh pondok pesantren salaf di Sarang, Abah Najih mengucapkan terima kasih.

“Cuman saya mau melapor, di pondok Sarang; di Lirboyo, di Ploso (mungkin sama), dan di pondok-pondok di Sidogiri mungkin sama, itu ada namanya musyawarah malam. Musyawarah itu diskusi, begitu. (Musyawarah) ini sudah kemajuan yang luar biasa di pondok kita, alḥamdulillāh. (Musyawarah) ini menurut saya eman (sayang), ini sudah sangat hebat sekali, (sudah) memproduksi ulama-ulama besar,” tutur Abah Najih.

Cara pemerintah menghargai pesantren

Oleh karena itu, Abah Najih meminta agar pemerintah menerima dan mengakui musyawarah tersebut. Lulusan musyawarah ini diharap bisa diterima untuk mengajar di sekolah-sekolah. Namun, tentu saja mereka harus melewati seleksi bacaan dan pemahaman terlebih dahulu.

“Kalau dia lulus musyawarah Fathul Mu’in ini, bisa ngajar di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan (Madrasah) Aliyah Negeri. Ini harus diakui, kalau memang pengin menghargai pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sudah ada bahkan (sejak) zaman sebelum kolonial Belanda,” ujarnya.

Abah Najih juga menambahkan, untuk menjadi naib mestinya seseorang sudah lulus musyawarah Fathul Mu’in. Kalau untuk menjadi modin, cukuplah seseorang lulus musyawarah Fathul Qorib. Namun jika hendak menjadi naib, maka harus Fathul Mu’in agar lebih mantap saat menikahkan sepasang pengantin.

Baca Juga:  Warnai Ramadan, Suara Merdeka Adakan Gerakan Santri Menulis

“Ini mohon, kalau memang ingin menghargai pesantren, ya seperti itu. Harus, kalau enggak ya berarti sampai kiamat belum bisa menghargai pesantren. Siapapun orangnya, apapun partainya, siapapun pemerintahnya itu dobol (memberi janji palsu) semua bagi kami,” tegas K.H. Najih.

Baca juga: Ketua STAI Al-Anwar: Di Mana Saja Membaca Al-Qur`an

Terakhir, Abah Najih menceritakan alasan kakeknya dari jalur ibu, K.H. Baidlowi bin Abdul Aziz, menentang DI/TII. K.H. Baidlowi beralasan, jika pemerintahan Soekarno memang benar tidak sah, tidak Islami, maka para naib yang ada di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tidak punya wewenang. Imbasnya, akad nikah yang mereka lakukan menjadi tidak sah juga. Oleh karena itu, status pemerintahan Soekarno harus sah agar para naib tersebut memiliki otoritas untuk menjadi wali dari perempuan yang tidak ada walinya.

Reporter: Abdalwahab Mujtaba

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *