Santri Menulis di Media Sosial untuk Meningkatkan Literasi di Indonesia
NarasiGardaPena_ Saat ini, kita berada di era digital. Akses orang-orang terhadap informasi menjadi lebih mudah, jika dibandingkan dengan era sebelumnya. Mereka bisa mencari informasi apa saja yang mereka butuhkan dengan mudah. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A., Ph.D. mengatakan, para santri harus ikut berperan dalam mengisi internet dengan membuat konten-konten yang berkualitas. Jika tidak, internet justru akan diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki sanad yang jelas dan tidak memiliki kualifikasi.
Jika dibandingkan dengan negara lain, literasi di Indonesia masih tergolong rendah. Sehingga, seringkali media sosial membuat orang menjadi semakin bodoh. Mengapa demikian? Karena sebelum mengambil informasi dari media sosial, orang-orang tidak memiliki bekal yang cukup. Bekal yang dimaksud di sini adalah pengetahuan yang bisa didapatkan dari membaca beberapa literatur. Kebanyakan orang mencukupkan diri dengan informasi yang didapatkan dari media sosial. Padahal, informasi di media sosial itu bersifat instan dan terbatas.
Kabar baiknya, sekarang banyak Gus, Neng, dan Lora yang aktif di media sosial. Banyak juga pondok pesantren yang media sosialnya bagus. Itu artinya, banyak konten-konten berkualitas yang tersebar di internet. Sehingga, masyarakat umum dapat menikmati pengetahuan dari sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menulis untuk Media Sosial
Literasi yang rendah di Indonesia termasuk salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh para santri. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat tulisan di media sosial. Menurut Gus Nadir, postingan-postingan di media sosial itu seharusnya lebih banyak kandungan ilmunya dibanding kemasannya. Jika dibuat perbandingan, maka isi tulisan itu 80 persen ilmu, 20 persennya kemasan. Perbandingan ini jangan dibalik, kandungan ilmunya 20 persen, lalu kemasannya yang diperbanyak hingga 80 persen. Kalau dibalik, nanti literasi di Indonesia tidak cepat naik.
Selain porsi ilmu dalam tulisan, niat dalam menulis juga harus benar. Niat dalam menulis itu bukan untuk viral. Niat pertama dalam menulis adalah sebagai bagian dari belajar. Sebab, ketika akan menulis, kita pasti belajar lagi. Jika hendak menulis, kita harus membaca terlebih dahulu. Jadi, menulis termasuk bagian dari proses belajar.
Niat yang kedua adalah untuk menambah bahan bacaan. Terserah orang-orang mau membacanya atau tidak, yang penting kita menambah bahan bacaan yang bisa dinikmati. Kita tidak perlu khawatir apakah tulisan yang dibuat akan dibaca oleh banyak orang atau tidak. Selama tulisan tersebut disampaikan dengan baik, orang-orang akan membacanya. Namun, niat dalam menulis itu jangan karena ingin viral. Ini penting untuk diingat. Niat dalam menulis itu untuk menambah ilmu.
Agar dapat menulis dengan baik, hal paling penting yang harus disiapkan adalah gagasan. Sebelum menulis, kita harus memiliki gagasan terlebih dahulu, apa yang mau ditulis. Kita harus berlatih menulis gagasan. Tidak harus gagasan yang ndakik-ndakik, yang penting kita bisa mengurainya.
Tulisan yang dibuat untuk media sosial itu jangan terlalu panjang. Kalau tulisannya panjang-panjang, orang akan malas membacanya. Tulisan itu cukup sepuluh atau dua belas paragraf saja, tapi logikanya jelas. Gagasan yang disampaikan juga harus jelas.
Kebiasaan para santri saat menulis adalah mukadimahnya terlalu panjang. Inti tulisan baru dibahas di paragraf ketujuh atau kedelapan. Kebiasaan ini muncul karena kita terpengaruh oleh kitab kuning. Kita tidak bisa melakukannya saat menulis di media sosial. Gagasan harus sudah jelas sejak awal tulisan.
Akhir kata, menulis harus dijadikan kebiasaan. Masa sekarang tidak seperti masa para ulama terdahulu. Pada masa itu, menulis tidak mudah untuk dilakukan karena harga tinta dan kertas yang mahal. Saat ini, kita bisa menulis di mana saja, baik di diary, di HP, maupun di tempat-tempat lainnya.
Baca Juga: Politi-Gus
Oleh: Abdalwahab Mujtaba