Menyemai Kembali Wawasan Politik bagi Santri
Oleh: Rofiqoh Nurul Ashfiya’
Santri adalah kaum yang hidup dalam lingkup pesantren untuk belajar ilmu keagamaan. Dalam sejarahnya, santri berperan penting dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Bahkan peran tersebut terlihat jelas dari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka, termasuk keterlibatan santri dalam politik yang dewasa ini menjadi sesuatu yang bukan tanpa catatan perbaikan.
Masa pra-kemerdekaan, di Indonesia pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang sangat pesat. Sistem politik dibangun atas dasar-dasar ajaran agama, bahkan tercatat para pemimpin raja pada masa itu adalah para santri, seperti Raden Fatah, raja pertama kerajaan Demak merupakan murid dari Ahmad Rahmatillah atau yang biasa dikenal dengan Sunan Ampel.
Kemudian masa pasca kemerdekaan, kaum santri masih terus aktif menunjukan eksistensinya dalam dunia perpolitikan. Banyak organisasi atas nama Islam yang turut berkontestasi dalam membangun politik Indonesia yang lebih mapan. Seperti Masyumi, Syarekat Islam (SI), Persis, dan lain sebagainya. Anggota organisasi tersebut adalah para santri sebagaimana perkataan Buya Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Politik, karena mereka dibentuk dan berkembang dalam lingkungan kultural partai-partai Islam.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya sejak dekrit 5 Juli 1959 sampai tumbangnnya Orde Baru (1966-1998) kelompok-kelompok santri menjadi lumpuh secara politik dan ekonomi. Hal itu dikarenakan tidak terlatihnya mereka untuk menjadi dewasa dalam percaturan perpolitikan nasional. Masyumi sebagai federasi reformis dari beberapa kelompok para santri harus menelan kenyataan pahit yaitu pendek usia, alias bubar pada 1960, di umur bangsa yang relatif masih belia. Padahal, Masyumi sempat menjadi partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu pada tahun 1955.
Terlepas dari warisan moral politik yang sampai saat ini masih mengilhami organisasi atau partai politik Islam, fakta bubarnya Masyumi mengantarkan pada ketidakkokohan tradisi politik bagi generasi selanjutnya. Akibatnya, kaum santri yang awalnya menjadi dominator perpolitikan negara, harus mengalah karena kalah dalam pertarungan menghadapi gelombang politik yang ada. Walaupun, tidak sepenuhnya kaum santri dalam organisasi Islam hilang dari kancah perpolitikan bangsa. Terlihat sejak pasca reformasi, sudah banyak organisasi politik Islam yang kembali menunjukan eksistensinya, bahkan sudah menjamur dan kerap andil dalam pemilu raya.
Meskipun begitu, peran dan kontribusi organisasi politik Islam dalam masyarakat masih dirasa kurang. Terutama dalam hal pengembangan wawasan politik bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang masih buta tentang politik, terlebih para pemuda khususnya kalangan santri. Ketidakpahaman karena minim wawasan seputar politik mengantarkan posisi mereka hanya menjadi objek politik. Sehingga mereka sering dimanfaatkan oleh para poli(tikus). Padahal, seharusnya para pemuda lah yang harus menjadi penggerak dan partisipan aktif dalam proses berjalannya politik bangsa. Pemuda harus menjadi subjek agar kondisi perpolitikan bangsa seimbang dan stabil. Bukan menjadi objek dari kebijakan yang mengatasnamakan kesejahteraan bersama tetapi kenyataannya menguntungkan sepihak.
Oleh karena itu, penyemaian kembali wawasan politik bagi santri sangatlah penting untuk dilakukan. Dikatakan ‘kembali’ karena pada sejarahnya kaum santri memiliki pengalaman perpolitikan yang membanggakan. Bukan berarti santri dimasa sekarang apatis terhadap politik, terbukti sudah banyak politikus yang berlatar belakang santri yang turut mewarnai dan berkiprah. Namun, mereka tentu perlu regenerasi yang akan meneruskan tongkat estafet kiprahnya.
Santri tidak harus mengaji kitab-kitab klasik dan keagamaan saja, sudah seyogyanya kaum santri menanamkan jiwa nasionalisme dan memperdalam wawasan perpolitikan. Karena dengan politik para santri bisa turut menggemakan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat. Ditambah bekal nilai moral keagamaan mereka bisa menggemakan orientasi politik yang mengutamakan kepentingan-kepentingan masyarakat untuk menuju masyarakat dan negara yang sejahtera.
Terlebih, saat ini anggapan sebagian masyarakat terhadap politik lebih kepada konotasi negatif yang selalu diidentikkan dengan korupsi. Rasa benci kepada politik merupakan pola acuh tak acuh dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka tak mengherankan apabila terjadi politik dengan public policy yang mengedepankan kepentingan pemerintah tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Maka sekali lagi, disini lah pentingnya santri dalam memperkaya literasi tentang kepolitikan agar mengetahui dunia perpolitikan dan bagaimana politik tersebut membentuk menciptakan masyarakat yang berdaulat. Para santri dengan background pesantren harus bersinergi dan semangat dalam mengampanyekan politik yang berorientasi pada kepentingan bersama dan mengahapus stigma buruk politik dalam masyarakat.
Karena mengentaskan masyarakat yang buta akan politik bukan hanya tugas dari partai politik saja, melainkan tugas bersama-sama sebegai warga negara.