Problem Politik Indonesia, Mahasantri Bisa Apa?
Indonesia dengan Problem Politiknya
Panggung politik Indonesia mengalami problem yang dinamis dan tidak sedikit dari beberapa kebijakan ditentukan oleh kekuatan para petinggi. Sehingga kebijakan tersebut menuai kontroversi dan menambah gejolak politik (pro dan kontra). Banyaknya kontroversi politik di Indonesia menimbulkan masalah yang pelik. Hal tersebut dapat dilihat dari lembaga legislatif yang kontradiktif antar koalisinya. Permasalahan pemerintah semakin meruncing dari dalam pemerintahan itu sendiri. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai profesionalitas politisi yang seakan menggunakan jabatannya sebagai kepentingan pribadi. Kesejahteraan masyarakat terancam diambang batas. Politik pemerintahan Indonesia tidak membutuhkan popularitas belaka, melainkan kinerja untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Panggung politik Indonesia tidak lepas dari peran-peran elit, seperti elit politik sampai elit ekonomi. Sayangnya, hal tersebut menyebabkan kolaborasi untuk menghantarkan calon melalui cara apapun termasuk menjatuhkan lawan. Hal tersebut menunjukkan kebangkrutan politik Indonesia yang tidak lagi ditujukan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Kursi-kursi politisi seakan hanya sebagai cara mengorek keuntungan melalui elit politik. Fenomena politik Indonesia menghalalkan berbagai cara demi kepentingan pribadi. Korupsi menjadi tingkat kriminalitas tinggi di kancah politik Indonesia. Selain itu, jabatan juga dijadikan bahan pencucian uang. Etika politik seakan telah luntur dari kancah perpolitikan Indonesia.
Panggung politik Indonesia juga diwarnai dengan politik dinasti dan politik praktis. Politik dinasti dapat dilihat dari para aktor politik yang belum bersedia mengalokasi kursi politik pada pihak lain. Sistem demikian mengakibatkan adanya oligarki kekuasaan. Perputaran panggung politik Indonesia berkisar pada anak sang penguasa, keponakan, saudara, dan lain sebagainya. Ketika satu orang masuk pada kancah politik, seakan pintu terbuka dengan mudah untuk keluarga tersebut memasuki dunia politik juga. Hal ini dapat dilihat dari Gibran putra Jokowi yang menjadi walikota Solo. Selain itu, Boby menantu Presiden, Keponakan Prabowo, dan keponakan Jusuf Kalla juga maju dalam Pilkada 2020. Selain maju sebagai tokoh politik, dunia perpartaian Indonesia juga mengalami politik dinasti. Petinggi-petinggi Parpol berasal dari keturunan pendiri parpol. Bahkan anggota DPR periode 2019-2024 menunjukkan persentase hingga 17,22% berasal dari dinasti yang berasal dari pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi. Selain politik dinasti, politik praktis juga marak di Indonesia. Dimana pamor menjadi kuncinya. Sebagai contohnya adalah selebriti yang kemudian beralih peran dari panggung hiburan ke panggung politik. Selain itu, para pengusaha sukses pun turut memeriahkan panggung politik. Begitulah problematika perpolitikan di Indonesia.
Moral elit politik mulai hilang diterpa oleh nalar oportunisme, materialisme, pragmatisme dan populisme. Unsur menjaga martabat dan wibawa sebagai pemimpin bangsa mulai sirna. Rasa kejujuran dan kemanusiaan mulai tidak tampak dalam kinerja di pemerintahan. Elit politik mulai tidak mengerti arti sesungguhnya, apa itu makna berpolitik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebangkitan nasional dan perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Pernyataan ekstrem ditulis oleh Kinichi Ohmae dalam The End of The Nation State (1996) bahwa kekerasan politik dan maraknya praktik korupsi oleh elit politik merupakan indikator kehancuran negara. Hal tersebut menunjukkan makna tersirat bahwa Indonesia berada di ambang kehancurannya. Oleh karena itu, kehancuran negara harus dihindari dengan tetap menanamkan dan mengusung nilai-nilai kebangkitan nasional. Oleh karena itu, politik di Indonesia harus bangkit dari keterpurukannya. Kebangkitan politik yang dicetuskan oleh founding father harus dibangkitkan kembali dan harus diimplementasikan dalam kehidupan berdemokrasi saat ini.
Bagaimana Nasib Demokrasi?
Negara demokrasi adalah negara yang bercirikan dengan adanya kontestasi politik dan kebebasan masyarakat untuk memilih dan dipilih. Kebijakan pemerintah dan sikap politik juga menjadi indikator negara demokrasi atau bukan. Indonesia memiliki indikator untuk disebut sebagai negara yang demokrasi. Namun, sayangnya demokrasi di negara tercinta ini, sepertinya hanya berpihak pada beberapa orang saja. Oligarki berkedok demokrasi masih marak di Indonesia, mereka mengatas namakan rakyat tapi berjuang bukan untuk kepentingan rakyat.
Tokoh filsafat sekaligus sosiologi Jurgen Habermas mengusung sistem “demokrasi deliberative”. Dimana demokrasi ini bertumpu pada ruang publik yang memaksakan adanya ruang komunikatif berupa kepekaan kepada rakyat. Kepekaan tersebut dapat dimanifestasikan dengan kebijakan yang relevan dengan kebutuhan rakyat. Michael Foucault menyatakan bahwa kekuasaan diartikan sebagai relasi imanen dalam ruang kekuasan tersebut berlaku. Kekuasan tersebut memiliki makna bahwa kekuasan bukan berarti siapa yang memegang jabatan atau dari mana kekuasaan tersebut berasal, tetapi lebih berhubungan pada cara mengatur dan mengelola kekuasaan tersebut. Dengan begitu, kebijakan akan terjadi secara menyeluruh dan tidak menimbulkan polemik.
Poros demokrasi Indonesia berada ditangan rakyat. Namun, pada realitanya banyak rakyat yang terkucilkan atas demokrasi negara ini. Bentuk kritik yang disampaikan terkadang malah dinilai sebagai penghinaan. Kebijakan yang seharusnya menampung aspirasi rakyat justru malah memojokkan rakyat. Mereka yang disebut wakil rakyat terkadang malah acuh dengan komentar rakyat. Hingga pada akhirnya rakyat banyak yang merasa acuh pada bentuk pemerintahan serta kebijakannya. Mereka merasa tidak diuntungkan dan acuh pada kerugian. Proses demokrasi dimulai dari pemilihan petinggi hingga pembuatan kebijakan merupakan satu alur yang berkesinambungan. Kebijakan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penguasa negara. Demokrasi akan meruncingkan pada rakyat meskipun para pemegang kekuasaan berkualitas tetapi tidak menjalankan prinsip demokrasi dengan tepat.
Aksi Mahasantri
Salah satu aspek signifikan perkembangan suatu negara adalah aspek politiknya. Subjek politik dan sistem politik ini sangat menentukan baik buruknya suatu negara. Ketika sistem politik tidak sesuai dengan tujuan negara, akan menimbulkan banyak polemik. Contoh dampak tersebut adalah tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun terhadap pemerintah dan juga menghambatnya perkembangan suatu negara menjadi sejahtera. Permasalahan politik merupakan permasalahan yang signifikan sehingga tidak mudah untuk mencari solusinya, bahkan mungkin tidak akan bisa ditemukan secara spontan, tapi perlu adanya pengkajian dan analisa yang lebih mendalam dalam menyelesaikan masalah politik.
Sebagai agent of change, mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk membangkitkan kembali demokrasi dan menjadikan kehidupan politik lebih baik. Mahasiswa dituntut mampu untuk mengontrol keadaan negara, bukan untuk sekedar mengkritik, tetapi juga memberikan kontribusi yang riil untuk perubahan yang lebih baik. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa harus bersikap berani dan kritis. Berani untuk mendobrak zaman ke arah kemajuan dan kritis terhadap kebijakan para pemegang roda pemerintahan. Mahasiswa berperan sebagai transportasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beban dan tanggung jawab menjadi mahasiswa sangatlah besar. Mahasiswa harus berani menyampaikan kebenaran tanpa menutupi kebohongan, selalu meneriakkan keadilan, sehingga semua harapan rakyat dan juga janji manis para politisi yang selalu berkoar dengan dalih demi kesejahteraan atas nama rakyat bisa terealisasikan, bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Namun, itu semua hanya akan menjadi label yang hampa tanpa makna jika mahasiswa tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat dan negara.
Mahasiswa dijuluki sebagai agent of change, lalu apakah mahasantri juga iya? Tentunya mahasantri juga termasuk bagian agent of change. Sebagai bagian dari mahasiswa, mahasantri juga harus turut berperan sebagai penyalur informasi, memotivasi untuk melakukan perubahan, mengidentifikasi kebutuhan dan masalah, mengonsumsi berita dan memilah faktanya dengan baik, yang tentunya berpengaruh untuk perubahan. Jika mahasiswa merupakan calon pemimpin dalam social condition, mahasantri justru memiliki peran yang lebih besar, di mana mereka nantinya dituntut untuk menjadi pemimpin dalam social and religion condition. Oleh karena itu, praktek-praktek politik yang menyimpang tidak hanya dilihat dari segi sosialnya tapi juga dapat dilihat dari sisi agama. Jika kesadaran mahasantri terhadap isu politik memiliki prosentase tinggi, maka mahasantri dapat menjadi daftar penting penyumbang ide dalam pembentukan panggung politik di Indonesia. Namun, pada faktanya mahasantri justru masih banyak yang hanya menikmati kerumitan politik dan tidak melakukan pergerakan untuk menggiring politik Indonesia menuju perubahan.
Bebeda dengan mahasiswa yang biasa melakukan aksi turun ke jalan untuk menuntut perubahan arah kebijakan pemerintah menjadi lebih baik, mahasantri dapat melakukannya dengan cara lain. Kemajuan teknologi dapat dimanfaat oleh mahasantri untuk menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui media sosial. Kesadaran mahasantri terhadap kegunaan media sosial harus ditingkatkan, tidak hanya digunakan untuk chatting dan sekedar mengikuti trend belaka, media sosial dapat dimanfaatkan mahasantri untuk melakukan demonstrasi terhadap kebijakan-kebijakan negara. Media sosial tentunya memberikan jalan lebar untuk mengakses berita dengan cepat. Jadi, meskipun ruang lingkup mahasantri hanya pesantren, berita diluarpun tetap dapat diakses dengan baik. Sayangnya, hal tersebut tidak akan terwujud ketika kesadaran mahasantri terhadap kegunaan media sosial tidak pada jalan yang tepat.
Sebagai mahasiswa sekaligus santri, mahasantri harus memiliki pemikirian luas dan terbuka yang pastinya harus tetap terkontrol pada syariat. Keberadaannya di Pesantren seharusnya meningkatkan rasa kepercayaan diri mahasantri untuk dapat melakukan perubahan, tidak hanya pada lingkungannya tetapi juga pada negaranya. Karakter yang terbentuk di pesantren menjadikan mahasantri harusnya siap dan berani untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut harus dilandasi dengan rasa sadar terhadap pentingnya perubahan, sehingga mahasantri tergerak untuk melakukan pergerakan. Selain media sosial, mahasantri juga dapat melakukan penelitian terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Mengkaji ulang apa yang telah menjadi peraturan dalam dunia politik dan dapat membandingkannya dengan strategi-starategi politik yang ada di dalam Islam. Hal tersebut tentunya dapat memberi sumbangsih besar terhadap kemajuan politik Indonesia. Mahasantri dapat menuntun Indonesia dengan bereputasi baik dalam kehidupan politik dan juga diimbangi dengan kondisi religi. Mari menjadi agen perubahan bagi Indonesia.