Jalaludin Rumi Dengan Wajah Politik: Membaca Surat-Surat Rumi
“Wahai penguasa zaman,
Apa yang bisa mengurangi kekuasaanmu?
bila kebaikanmu mampu membahagiakan orang lain?“
-Jalaluddin Rumi-
Rumi bernama Muhammad bin Muhammad bin Husain Baha’uddin al-Balkhi al-Bakri. Dalam bahasa Persia lebih disebut Jalaluddin Muhammad Balkhi, sementara dalam bahasa Turki disebut Maulana Jalaluddin Rumi. Gelar Maulana didapat dari para sahabat dan para muridnya. Gelar ini merupakan gelar penghormatan yang juga status sosial. Dalam Persia modern gelar Maulana dikenal dengan istilah Maulawi. Sosok sufi besar ini lahir di Balkh, Afganistan pada 6 Rabi’ul Awal 604 H dan wafat di Konya, Turki pada 672 H.
Rumi adalah anak dari seorang tokoh fiqih besar dan Mufti, Baha’uddin Muhammad (Baha’ Walad). Baha’ Walad juga merupakan seorang syekh dari tarekat Kubrawiyah yang didirikan oleh syekh Najmuddin al-Kubra.
Sebagian Riwayat mengatakan bahwa nasab dari jalur bapak, Baha’ Walad, terhubung dengan Khalifah pertamaa Rasulullah yaitu Abu Bakar al-Shidiq. Sedang dari jalur ibu, Mukminah Khatun, terhubung dengan raja-raja Khawarizm.
Di sini kita tidak akan membahas tentang perjalanan kerohanian Sufi ini, sudah terlalu banyak kajian-kajian yang mengupas tuntas hal tersebut. Fokus dalam tulisan ini ialah memperkenalkan sosok Politisi dari Sufi besar ini.
Catatan penting, Rumi hidup di Konya, ibukota kesultanan Rum (1075- 1308 M). Sejarah mencatat bahwa Konya kala itu merupakan pusat peradaban islam yang menggabungkan tradisi Persia dan Turki. Sebagai ibukota, persinggungan dan persentuhan Rumi dengan kekuasaan tidak bisa dihindari. Kita dapat melihat dari konten-konten surat Rumi dalam salah satu karyanya, Majmu’ah min al-Rasail, yang mayoritas memang ditulis dan diperuntukan kepada para elit negeri kala itu, seperti sultan (raja), mentri, gubernur, hakim, kelas pekerja, dan ilmuwan terkenal pada masa itu.
Seluruh surat dalam Majmu’ah min al-Rasail ini berisi perkara urgen (penting), seperti saran-saran, arahan-arahan, implementasi kebijakan, dan rekomendasi sesuatu yang penting. Namun, beberapa surat tidak terkait politik dan kekuasaan melainkan sepenuhnya murni tentang sufisme, pengetahuan irfani, atau konsep cinta dalam tasawuf.
Dalam mengkaji surat-surat Rumi, Imam Nawawi –penerjemah Majmu’ah min al-Rasail- menemukan dua strategi Rumi dalam memperjuangkan idealismenya.
Pertama, Rumi begitu menghormati para politikus atau orang-orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan politik. Hal ini dapat menjadi strategi tersendiri bagi Rumi untuk menarik simpati penguasa, setidaknya untuk ‘memuluskan’ kepentingan kelas yang diperjuangkan.
Kedua, dalam perjuangan tersebut, Rumi menolak bersentuhan langsung (Direct Contact) dengan para penguasa. Sebagai langkah solutifnya, Rumi menyatakan dengan tegas dalam setiap suratnya bahwa dirinya tidak bisa datang secara fisik, tetapi hati dan jiwanya selalu hadir sepanjang waktu.
Dua strategi tersebut cukup efisien kala itu. Dengan strategi itu pula, Rumi masih dapat memperjuangkan idealisme di satu sisi, dan menjauhi klaim para pendengkinya yang menganggapnya sebagai Ulama’ Su’ (ulama buruk) di sisi lain. Dalam literatur Tasawuf dikatakan bahwa, seorang sufi yang memiliki kedekatan politis dengan pemerintahan disebut Ulama’ Su’.
Menurut Rumi sendiri, dalam salah satu ceramahnya yang dimuat dalam buku Fihi ma Fihi, ulama buruk ialah yang mendapatkan bantuan dari para penguasa, kesejahteraan dan pembiayaan hidupnya bergantung pada mereka. Orang seperti itu sejak awal berniat menggunakan ilmunya untuk mendekati para penguasa. Para penguasa lantas memberi ulama’ ini penghormatan dan berbagai jabatan. Berkat penguasa, hidupnya sejahtera dan berubah dari bodoh menjadi berilmu.
Menjauhi Direct Contact ini, Rumi dapat menghindar untuk tidak terjebak dalam lingkaran politikus. Dengan demikian, semua anggapan bahwa Rumi masuk dalam kategori Ulama’ Su’ yang dekat dengan penguasa menjadi tidak tepat.
Saat membaca surat-surat Rumi, pembaca akan menemukan Rumi yang selalu bersyukur dan berterima kasih jika penguasa mengabulkan hajat-hajat si pembawa surat, dan menganggap pemberian penguasa kepada pembawa surat sebagai pemberian kepada Rumi sendiri, sekalipun Rumi tidak mendapatkan sepeserpun. Bagi para pembaca yang salah menangkap maksud dari Rumi, akan menganggap Rumi sebagai “Makelar Politik”.
Dalam surat-surat itu juga, Rumi sering menggunakan gelar-gelar mulia yang disuguhkaan untuk para penguasa. Menurut ustadz Abdul Baqi Kalbinarli, gelar-gelar mulia tersebut dijadikan sebagai upaya edukasi (tarbiyah). Gelar-gelar yang sangat hiperbolis (berlebihan) tidak serta merta menjadikan Rumi sebagai “penjilat” penguasa, melainkan untuk tidak mencerminkan realitas tetapi sebuah idealisme yang semestinya menjadi realitas konkret. Dalam teori Ilmu Komunikasi, seorang komunikator (pembicara) menempatkan komunikan (lawan bicara) dalam situasi-situasi psikologis dan rasional tertentu, sehingga dari kedalaman sanubari muncul hasrat kuat untuk berbuat lebih baik dari kehidupanya yang sekarang.
Berikut adalah salah satu conttoh cuplikan surat Rumi yang ditujukan untuk Mu’inuddin Parwana tentang keluhan mengenai Moghul (Mongol) yang menuntut setoran tunggangan dan binatang Bagal.
“…Sudah dimaklumi bahwa miskin harta adalah perkara hina di mata orang kaya. Mereka melihat miskin harta merupakan aspek lemah. Sebaliknya, berbangga-bangga dan menumpuk emas dan perak merupakan aib memalukan di mata para Darwis. Mereka merasa malu melakukan dua hal itu. …
… Tidak perlu rasanya untuk berbelit-belit. Karena, di hati malaikat Parwana yang mulia –semoga allah membuatnya khusnul khotimah dan senantiasa mulia- kami memiliki jatah syafaatnya, yang akan menggelorakan kata-kata indah dari mereka yang memohon bantuan kepada seorang Amir. …
… Karena, hadiah di mata orang yang sedang membutuhkan pasti akan dinantikan”.
Penulis: Muhammad Muchdlorul Faroh