Merindu

batu langit

Langit biru menjadi pemandangan indah yang menerpa penglihatan kaktus dan batu. Terik matahari tak dirisaukan mereka. Sendu kerinduan terpancar dari tatapan batu terhadap langit biru, hal yang membuat kaktus merasa terganggu atas keindahan pancaran biru langit.

Kaktus : “Kau kenapa batu, seperti sedang merindukan sesuatu?”

Batu    : “Ah tidak, aku hanya berpikir,” (mencoba mengelak)

Kaktus : “Oh iya (tak percaya), apa yang kau pikirkan batu, sepenting apakah pikiranmu itu,” (mengejek)

Batu    : “Kau ini, aku memang sedang berpikir”

Kaktus : “Laluu, lekas katakan apa yang kau pikirkan”

Batu    : “Apa yang dirasakan langit saat ia bisa melihat apapun di dunia ini?” (berfikir sejenak dengan menatap langit)

Kaktus : “Apa yang dirasakan langit? akupun tak tahu lah, mungkin dia merasa senang dan mungkin sedih?”

Batu    : “Kenapa seperti itu?”

Kaktus : “Yaaa, Karena dia bisa melihat keindahan dunia yang banyak orang tidak tahu, dan ia merasa sedih karena tak ingin melihat kehancuran dunia yang seharusnya tidak ia lihat.”

Batu    : “Lalu apa yang dia lakukan ketika dia sedih?”

Kaktus : “Dia akan menurunkan hujan, mungkin (menerka-menerka). Hai batu kau ini pintar, kenapa kau menanyakan hal yang kau tahu jawabannya?”

Batu    : “Hehehe” (hanya tersenyum sebentar, lalu memandang langit dengan raut kerinduan)

Kaktus : “Tunggu-tunggu apa kau merindukan hujan?” (memandang batu dengan seksama)

[Batu hanya tersenyum menimpali pertanyaan Kaktus]

Kaktus : “Jadi kau merindukan hujan, kau ini aneh, lagian kita hidup di gurun jadi mana mungkin hujan sering datang” (menggelengkan kepala, melihat keanehan batu)

Batu    : “Aku hanya merasa iri dengan batu yang berada di daerah tropis, mereka bisa merasakan hujan setiap musim”

Kaktus : “Hmm yaa, apa yang kau rindukan dari hujan?”

Baca Juga:  Kuatkan Mutu Prodi Perbandingan Mazhab, STAI Al Anwar Ikuti Lokakarya Kemenag

Batu    : “Aku merindukan kesabarannya”

Kaktus : “Hah, maksudmu?” (semakin bingung)

Batu    : “Iyaa, kesabarannya atas setiap tetes yang ia berikan kepadaku, sehingga dapat menjadikan kerasku meluruh bersamanya, rinduku terhadap tetes manis yang bagaikan belaian dan bisikan indah membujukku untuk selalu menunggunya,” (linang air mata mulai menggenang)

Kaktus : “Hai batu, kau harusnya sadar, hujan di sini datang tak sesering di tempat lain, tak adakah hal lain untuk menggantikan hujan?” (sedikit membentak)

Batu    : “Aku tahu, dan jika kau bertanya adakah pengganti hujan jawabannya tidak ada, selamanya tidak ada”

Kaktus : “Apakah kau yakin bahwa hujan akan datang untukmu lagi?”

Batu    : “Aku tidak bisa memastikan, tapi aku yakin bahwa dia akan kembali untuk meluluhkan kerasku yang belum ia selesaikan”

[Kaktus tersenyum miring tak percaya dengan ucapan aneh batu]

Batu    : “Sudahlah kaktus kau tak mungkin bisa merasakan apa yang aku rasakan”

Kaktus : “Memang aku tak bisa merasakan apa yang kau rasakan, tapi harusnya kau sadar kerinduanmu itu mungkin tak akan terobati sampai kau tenggelam karena badai pasir”

[Batu tersenyum atas omelan kaktus yang mencoba untuk menyadarkannya]

Kaktus : “Lalu apa yang kau lakukan saat kau tertimpa hujan setiap saat” (menatap kebodohan batu)

Batu    : “Aku akan meluruh dengannya”

Kaktus : “Kau memang bodoh, jika seperti itu kau akan menghilang”

Batu    : “Tak apa aku menghilang, hilangku menjadi sebuah penghormatan untuk hujan, karena    kesabarannya yang mampu menghilangkan kerasku”

Kaktus : “Waw alasanmu sangat indah batu, kau memang sudah dibutakan cinta, terserah kau saja” (sudah muak dengan batu)

Batu    : “Liat baru segitu saja kau sudah menyerah, memang tak ada yang seperti hujan” (menghela napas panjang)

Baca Juga:  UKM Teater Saroengan Gelar Workshop Menulis Puisi untuk Anggota Baru

Kaktus : “Hah, sudalah batu aku muak dengan semua anganmu”

[Mereka hanya terdiam menatap langit diselingi dengan beberapa awan yang menyapa mereka, tiba-tiba batu menegang karena mendapat sebuah ide yang mungkin akan berhasil membuat obat untuk kerinduannya]

Batu    : “Kaktus!!” (panggil batu kepada kaktus)

Kaktus : “Ada apa lagi batu?”

Batu    : “Tadi kau mengatakan jika langit menangis ketika dia sedih dan dia sedih ketika melihat sesuatu kehancuran yang seharusnya tidak ia lihat”

Kaktus : “Itu hanya pendapatku” (tak acuh)

Batu    : “Jika itu benar, haruskah aku membuat kehancuran di dunia?” (menatap langit)

Kaktus : “Kau memang gila, sebegitukah kau rindu dengan hujan?” (menggeleng heran)

            Tak menjawab pertanyaan kaktus, batupun hanya menatap langit dengan tatapan kerinduan yang mendalam, garis orange mulai menghiasi keindahan langit yang terang, sorot matahari mulai menghilang, dan mereka tetap termenung dengan berbagai pikiran.

Baca Juga: Tekankan Sikap Responsif Untuk Wartawan, LPM Garda Pena Gelar Training of Journalistic

Oleh: Nesa Naila Ezza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *