CAHAYA YANG HILANG

Oleh: Anna Noor Fatikhatun Zulfa

Kala ituĀ  tepatnya dua tahun yang lalu, ketika AkuĀ  masih duduk di bangku SMA, konon kata orang-orang merupakan masa yang sangat menyenagkan dan indah. Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa, kemarin Aku masih anak kecil yang manja, kini sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang harus mandiri. Masa SMA yang jauh dari kata orang-orang, kebahagiaan yang seharusnya aku rasakan direnggut oleh Paman dan Bibi.

Kedua orang tuaku meninggal setelah insiden kecelakaan tunggal, mobil mereka jatuh ke jurang sebab menerobos pembatas jalan, hanya demi menghindari seekor kucing. Kejadian itu termasuk kado yangĀ  tak terlupakan di sweet seventeenku. Kalbuku hancur melihat orang ramai datang ke rumah membawa mayat kedua orang tuaku. Sweet seventeen yang menjadi acara pemakaman.

ā€œKirana yang kuat ya, harus sabar ga boleh sedih terusā€, ungkap sang Bibi, sambil mengelus punggungku. Hari berlalu, setelah aku tinggal sama Paman dan Bibi, kehidupanku berubah dratiss. Semua harta peninggalan kedua orang tuku habis di tangan Paman yang suka mabuk dan berjudi. Aku harus terima dan terbiasa oleh sifat Paman dan Bibi.

Kita selalu di kejar-kejar renternir seperti harimau mengejar mangsanya, ini semua karena utang Bibi yang sudah kelewat banyak. Aku tidak lagi melanjutkan masa SMA, Bibi menyuruhku bekerja, serta memerlakukanku layaknya pembantu. Setiap hari juga aku menjadi batu hantam saat Paman mabuk. Mana mereka yang dulu? Yang selalu sayang aku? Apa mereka dulu baik karena ada ayah yang berkelimang harta?

Ayah, Bundaā€¦Kirana Ā rindu, andai kalian masih hidup, pastiĀ  aku ga akan sesengsara ini. Bunda maaf saat ini terlalu berat untuk kuat, kini Kirana lemah. Ayah, sekarang Kirana ga sekolah, cita-cita yang sering Kirana ceritakan kini hanya jadi hayalan. Batinku sambil memandang foto kedua orang tuaku. Air bening menerobos mata tanpa henti, isakan halus melai terdengar. Aku memeluk foto mereka, hanya itu sedikit mmengobati rasa rindu yang tak berujung temu.

Baca Juga:  Memendam Dendam

Setelah puas menangis, dengan malas aku menuruni ranjang dan perlahan menyeret kaki menuju dapur lalu memasak untuk makan malam. Semua sudah siap tersedia di eja makan. Namun, Paman dan Bibi belum juga kunjung pulang. Aku memutuskan kembali merangkak ke ranjang dan tidur.

Cahaya matahari perlahan menerobos masuk ke kamar. Eh tungu, kenapa seperti ada tangan yangĀ  melingkar di pinggangku? Perlahanku coba membuka mata, betapa terkejutnya ada lelaki asing di ranjangku? Siapa dia? Kenapa disi? Dengan sigap Aku bangun dan membuat lelaki itu perlahan membuka mata.

ā€œHai, selmat pagi kirana. Ternyata yang dikata Bibi dan Pamanmu benar, kamu sangat cantik dengan rambut panjang, kulit putih, mata coklat dan hidung mancung. Tak salah aku menikahimu semalamā€, ungkap dia dengan suara parau khas bangun tidur.

Aku segera menjauh dan keluar dari kamar, mencari keberadaan Paman dan Bibi. Aku tak kunjung menemukan keberadaan mereka padahal semua penjuru rumah sudah aku cari. Di mana mereka? mengapa tiba-tiba menghilang? Meninggalkanku dengan lelaki asing itu. Linangan air mata terjun bebas membasahi pipi, aku tetunduk lesu di teras rumah.

Tanpa harus menoleh, suara erab kaki yang kian mendekat itu pasti dari lelaki asing itu, ā€œKirana, asal kamu tau, setelah aku menikahimu semalam, Paman dan Bibimu pergi dari rumah ini. Mereka pindah ke kota sebrang untuk memulai kehidupan baru. Aku menikahimu tak lain karena Bibimu yang menyerahkan kamu, hmm dengan kata lain, dengan menikah gugurlahsemua hutang-hutang yang melilit mereka. ouh ya, kenalin saya Raikhan.ā€ Jelas lelaki itu dengan panjang lebar.

Sungguh apa Paman dan Bibi ga berfikir jika mereka punya anak perempuan? Sangat tega mengorbankan keponakan sendiri setelah merengut semua kebahagiaan yang harusnya aku rasakan di masa SMA ini? Belum cukupkah meeka menghabiskan semua harta warisan kedua orang tuaku. Aku kini harus menerima sebuah pernikahan tanpa izin dariku di umur yang belum genap 18 tahun ini. Cahaya yang selalu terpancarkini sudah menghilang bersamaan dengan takdir membawaku pada suatu kehidupan yang belum saatnya aku jalani.

Baca Juga:  Politi-Gus

Hari-hari belalu sepertiĀ  air yang mengalirr dengan tenangnya. Raikhan ternyata orang yang sangat penyayang dan piawai dalam berbagai hal, tidak pernah sedikitpun membentakatau memaksaku. Tubuhnya yang tinggit tegap, dada bidang, kulit putih serta senyum yang selalu terukit, tutur kata yang halus, mmebuatku perlahan mencintainya. Kasih sayang tumbuh dengan indahnya, meski cahaya itu masih hilang, tergantikan dengan cahaya baru yang lebih terang.

Setelah sekian bulan hidup bersama Raikhan, baru kali ini terungkap, ternyata dia mau menikahiku karena dia muak dengan sifat Bibi dan tidak tega meliht kau diperlakukan sepeti pembantu. Sekian lama Paman dan Bibi menghilang, ternyata tak lain karena ulah Raikhan, dia sengaja mengancamĀ  mereka dan memberi harta untuk merantau di kota yangĀ  jauh dariku, biar mereka tidak lagi memanfaatkanku.

Kehidupanku sekarang jauh lebih baik dan bahagia, Raikhan seorang kepala rumah tangga yang sangat perhatian dan bertanggung jawab. Takdir memang tidak bisa ditebak, kehidupan terus berputar tanpa peduli bagaimana keadaan kita. Namun, semua itu pasti ada hikmahnya, bahagia itu tidak harus dengan orangĀ  yang kita kenal. Terkadang seseorang yang sama sekali tidak kita kenali, justru orang yang paling membahagiakan. Begitupun sebaliknya, orang yang dekat dengan kita, bisa jadi mereka yang menorehkan luka yang mendalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *