Memendam Dendam

memendam dendam

Sanu mempermain-mainkan pedal gas, membuat mesinnya menderum keras, disertai getaran badan mobil yang sudah lapuk dimakan karat. Sebuah mobil pick-up tua dari tahun 90-an, antik namun tetap terlihat gagah dengan ke-empat roda monsternya.

Sanu menengadah pada bagian bawah atap mobil, melihat sebuah potret yang sudah setengah kabur, lantaran terlampau lama mendompleng di sana. Entah gambar siapa, hanya seorang lelaki berjanggut penuh, dengan satu jari telunjuk di acungkan ke langit, mungkin bapaknya, pikirku. Setelah memandang potret itu lama, Sanu kemudian menurunkan pandangannya ke kaca depan mobil, menatap dengan tatapan tajamnya yang ciri khas. Sekali terlihat raut wajahnya yang seketika berubah, menjadi merah-padam, seolah sedang menyimpan dendam yang sudah bertahun-tahun lamanya terkubur di sana. Sebelum melancarkan aksinya, Sanu melantunkan lafal Arab yang hampir tak terdengar oleh telinga, namun dari komat mulutnya dapat terlihat ia sedang bersaksi kepada Tuhan-nya.

Kopling terangkat, persneling pun beralih tempat, dengan buru-buru Sanu kemudian menjejal pedal gas tanpa ampun, sekali membuat Roda itu berpusing menyentak aspal, meninggalkan jejak roda yang lebam kehitaman serta memberikan bau tak sedap. Mobil berpacu dengan cepat, melesat layaknya sebuah nascar yang sedang berada di perlombaan. Di mana dia akan berhenti?, tanyaku dalam hati. Nyatanya Mobil tak kunjung melambat, bahkan terbang makin semangat, rasa-rasanya Sanu tak akan menyingkir di tengah jalan, ia benar-benar akan menabrakkannya ke barisan para petugas keamanan (oknum) yang tengah berdiri membelakanginya.

Sekali mobil itu terlihat melompat, tampak kedua roda depannya terangkat, sehingga serasa sedang menyaksikan pameran peragaan, namun tetap saja itu bukan pertunjukan yang mengasyikkan, siapa saja dapat terbalik dengan atraksi semacam itu. Bahkan dari balik kaca jendela, Sanu sendiri nampak terhempas ke sandaran mobilnya.

Baca Juga:  Catatan dari Penjara

Kepulan asap hitam tebal membuntuti mobil, menari ke kanan ke kiri kemudian ke kanan  kembali, begitu seterusnya hingga tak lama mobil telah menghantam kayu palang para oknum. Membuat mobil sedikit kehilangan keseimbangan. Namun itu tak menghalangi laju kendaraan. Sanu kembali menancap gas dan terbang seperti semula. Gertakan palang itu membuat para oknum serentak berbalik. Bertanya, siapa yang menggertak!?.

Betapa tercengangnya mereka. Melihat pemandangan yang sekali membuat mata cekung mereka campak, melotot ingin melonjak keluar dari rongganya, seolah tengah menerima kejutan yang sebentar akan mencabut nyawa dari raganya. Terlihat seorang pemuda bengis, sedang mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Para oknum itu lantas berteriak lantang memberitahu teman-temannya yang masih terpaku akan pertunjukan.

Terlambat, pikir oknum itu. Mobil yang sudah menerobos garis palang, dengan laju setan, membuat mereka tak sempat menyelamatkan diri, berpasrah pada yang berkuasa maupun yang tidak; Sisi depan mobil sudah ia rakit sedemikian rupa, dengan dilapisi beton dan sedikit paku-pakuan kecil yang mencuat keluar agar memberikan rasa sakit yang tiada tara. Benar saja para oknum yang mula-mula campak, tercucuk lubang-lubangan kecil, lantaran paku yang sebentar tertancap di sana.

Barisan itu lumat, berhamburan layaknya buah Semangka yang di hempaskan ketanah dan pecah, terhambur bersama isi-isinya sekali, tak beda halnya dengan bowling yang sedang di terjang bola perak. Tak habis sampai di situ. Para oknum yang sebentar masih bertumpuk di dasar mobil, dipijak-pijak roda monster yang bergigi tebal berpola batu bata, menggilas, berputar-putar di atas permukaan kulit mereka, membuatnya terkelupas, terkoyak bersama daging-gadingnya sekali. Hingga sekali terlihat tulang mereka yang putih-susu di baluti pembuluh darah yang sudah rontok tergilas roda; mobil terus berpusing, sebelum akhirnya berhenti di sana.

Baca Juga:  Mentari Untuk Abah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *