Mentari Untuk Abah

mentari untuk abah

Malam menggambarkan kegelapan dalam alam. Kesuraman, namun juga terdapat keindahan yang menghiasinya. Bintang-bintang di langit tampak berkedip seakan menemani hati yang lara tiada obat. Bertahun-tahun ia menunggu dan merasa lara akan keadaan yang selalu sama tiada perubahan. Matanya mengerjap menitikkan sebulir air mata penuh harapan. Hanya untuk sebuah nama yang ingin ia hilangkan noda jijik yang melekat. Memorinya menerawang jauh kedepan saat usia remaja yang harusnya Ia habiskan penuh dengan canda dan tawa. Ia ingat momen itu, momen yang merubah segala hidup keluarganya. Momen yang seakan menancapkan sebilah belati derita yang tak bisa dicabut hingga kini. Air matanya Kembali membasahi pipinya yang putih kemerah-merahan.

“Abah, Chaira merindukanmu” Rintihnya membasuh air mata dari pipinya.

Pita kenangan seakan-akan menari dipelupuk matanya. Luka yang selama ini ia kubur dikedalaman sumur derita, kini mencuat tanpa sebab. Membawa beban lara yang harusnya bisa ia ikhlaskan tiada dendam. Tapi begitulah, ikhlas tak semudah menghapus noda pada lantai. Seringkali saat ia menghadap langit malam yang dipenuhi gemerlap bintang, yang bertemankan sinar rembulan membawanya hanyut dalam kenangan lama. Kenangan itu mulai memenuhi semua kesadaran jiwanya. Ia ingat dan tak pernah lupa, sedetikpun. Sekecilpun.

Chaira Muazzizah Ahmad, biasa dipanggil neng Chaira, anak kedua sekaligus anak bungsu dari pasangan Bahagia KH. Ahmad Syakrani dan Nyai Aisyah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul `Ilmy. Pesantren yang terletak disalah satu kota besar negeri. KH. Ahmad atau biasa dipanggil Abah Ahmad sebanarnya berasal dari desa, yang akhirnya merantau guna menyebarkan ajaran Islam yang saat itu masih minim di Kota yang saat ini ditempati. Kehidupan Abah Ahmad sekeluarga harmonis dan bahagia. Syahrul Kahfi Ahmad putra pertama Abah Ahmad yang kini berusia 19 tahun sedang menempuh Pendidikan di Pesantren ternama Jawa Tengah. Sedangkan Chaira yang kini berusia 15 tahun masih enggan untuk meninggalkan rumah yang membuatnya nyaman. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Aliyah yang didirikan oleh Abahnya. Alasnnya cukup klise, Chaira tak bisa jauh-jauh dari orang tuanya, terutama Abah yang senantiasa memberinya petuah-petuah bijak tentang kehidupan.

Baca Juga:  Merindu

“Abah!”

Panggil Chaira yang melihat Abah Ahmad duduk di kursi teras depan rumah setelah selesai megajar santri. Disampingnya terdapat kitab Ihya` `Ulumuddin, buku, secangkir kopi hitam dan singkong rebus yang diletakkan di meja dekat Abah Ahmad. Chaira menghampiri Abahnya yang masih diam menatap langit yang kini terhiasi bintang nan bulan yang memanjakan mata yang melihatnya.

Assalamualaikum Abah” ucapnya seraya duduk di kursi samping abahnya.

Waalaikumsalam, Putri Abah yang saliha” Jawab Abah Ahmad sambil terseyum menatap wajah putri yang selalu dimanjakannya itu.

“Abah kenapa setelah selesai mengajar santri, selalu merenung menatap langit?”

Tanyanya yang merasa heran atas apa yang dilakukan abahnya akhir-akhir ini sangat gemar menatap langit malam hari. Walaupun Chaira tahu Abahnya memang suka belajar diruangan terbuka seperti ini, tapi tak jarang jua Chaira melihat abahnya yang kadang melamun menatap langit, seakan ada beban pikiran yang ia bawa.

“Nduk, coba kau lihat langit” ucap abahnya tanpa menatapnya. Chaira mendongak menatap langit gelap itu. Ia hanya menurut.

“Chaira, cobalah belajar pada alam, lihatlah betapa gelap malam itu, tapi Allah ciptakan bintang sebagai teman sekaligus hiasan untuk langit hingga langit terdapat cahaya. Lihatlah bulan itu yang menyinari bumi kala tiada terang sama sekali, mereka terlihat begitu indah dan saling melengkapi. Namun beberapa jam kemudian semua lenyap digantikan dengan matahari yang menyinari secara terang benderang, awan terlihat putih berseri, langit gelap saat malam tiada lagi, tergantikan dengan langit yang berwarna biru kemilau.”

“Chaira, bingung maksud Abah,”

“Matahari itu layaknya kebahagian dalam hidup, semua gelap tercerahkan dengan tawa-tawa Bahagia tapi mereka lupa kalau siang takkan selamanya. kan ada malam di mana matahari itu akan tertelan. Saat itu seakan orang akan lupa tawa yang pernah menghiasi wajah mereka, mereka lupa akan nikmat-nikmat yang Allah berikan, mereka menganggap malam hanya sebuah kegelapan. Padahal lihatlah, ada bulan, bintang yang memperindah malam dan menyinari malam, Ketika seseorang bisa menerima kegelapan atau ujian yang Allah berikan dengan lapang dada mereka akan mampu melihat bulan dan bintang itu. Kan ada cahaya yang menyinari gelapnya hati”

Baca Juga:  "TIKUS BERDASI"

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *